TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Di tengah semangat reformasi birokrasi dan janji peningkatan kesejahteraan aparatur negara, masih banyak kisah sunyi yang luput dari perhatian publik.
Salah satunya datang dari Kecamatan Ciawi, Kabupaten Tasikmalaya, di mana sejumlah Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu harus bertahan hidup dengan gaji tak lebih dari Rp 750.000 per bulan.
Endang Ramli, salah satu tenaga kebersihan di wilayah Kecamatan Ciawi, menjalani hari-harinya dalam kesederhanaan yang nyaris menyentuh batas kepapaan. Ia tinggal bersama keluarga di rumah yang jauh dari kata layak, atapnya bocor, dindingnya rapuh, dan setiap musim hujan menjadi ujian tersendiri.
Baca Juga:GP Ansor Kabupaten Tasikmalaya Kuatkan Kader, Gelar Konsolidasi Organisasi di Enam ZonaAnggota DPRD Kabupaten Tasikmalaya Aldira Yusup Soroti Penutupan Tambang Emas: WPR Belum Dirasakan Rakyat!
Meski demikian, Endang tetap menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab, membersihkan fasilitas publik setiap hari.
“Gaji saya Rp 750.000 per bulan,” ujarnya lirih, sembari menatap bagian atap rumah yang berlubang.
Potret miris seperti Endang bukan satu-satunya. Di berbagai kecamatan, banyak PPPK paruh waktu lainnya yang nasibnya tak jauh berbeda. Mereka adalah tenaga kependidikan, penjaga sekolah, petugas kebersihan. Semua yang berperan menjaga roda pelayanan publik tetap berjalan, namun hidup dalam ketidakpastian kesejahteraan.
Aris Yulianto, Ketua Forum Honorer Guru dan Tenaga Kependidikan (FHGTK) Kabupaten Tasikmalaya, menilai kondisi tersebut sangat ironis. “Mereka diangkat menjadi ASN PPPK paruh waktu dengan harapan perbaikan nasib. Namun kenyataannya sampai hari ini, gaji mereka belum jelas,” ujarnya saat dikonfirmasi Radar, Senin (15/12/2025).
Menurut Aris, nasib PPPK paruh waktu hari ini adalah potret nyata dari ketidakadilan. “Mereka sudah mengabdi, sudah bekerja, sudah menjalankan tanggung jawab, namun hak paling dasar berupa kepastian gaji masih belum jelas,” tegasnya.
Lebih memprihatinkan lagi, lanjutnya, sebagian besar dari mereka hidup dalam kondisi serba kekurangan. “Penghasilan nyaris tak cukup untuk bertahan hidup, rumah tidak layak huni, sementara tuntutan kerja tetap sama, bahkan kadang lebih berat,” ucapnya.
Aris menilai, pemerintah seharusnya tidak hanya hadir lewat regulasi, tapi juga dengan empati dan keberpihakan yang nyata. “PPPK paruh waktu punya keluarga, punya kebutuhan, dan punya harga diri. Sudah saatnya kejelasan dan keadilan benar-benar diwujudkan, bukan sekadar janji manis belaka,” katanya.
