Akibatnya, pelanggaran sering tidak berujung sanksi tegas dan menurunkan kepercayaan publik. Oleh karena itu, ia menekankan pembenahan harus diarahkan pada transparansi KPU, penguatan Bawaslu, sistem pendanaan kampanye yang jujur, serta partai politik yang lebih demokratis.
“Kita tidak bisa menyembuhkan penyakit sistemik dengan mengurangi ruang rakyat, itu seperti menyalahkan pasien, bukan memperbaiki kualitas dokternya,” bebernya.
Menurut Fajar, pemilihan kepala daerah oleh DPRD hanya memindahkan pertarungan politik dari ruang publik ke ruang tertutup, sehingga meningkatkan potensi lobi dan transaksi elite.
Baca Juga:Benarkah Ada Peran "Ketua Para Pemuda" di Balik Proyek Padel Bermasalah Kota Tasikmalaya!Jalan Panjang Unsil Tasikmalaya Menuju Fakultas Kedokteran Akan Dimulai!
Meski diakui memiliki sisi positif seperti biaya lebih kecil dan proses lebih cepat, ia menilai risikonya jauh lebih besar, terutama hilangnya legitimasi publik dan meningkatnya potensi korupsi politik.
Ia menegaskan pemilihan langsung tetap memberi legitimasi kuat, akuntabilitas publik, dan partisipasi demokratis yang tidak bisa diukur dengan efisiensi semu.
“Selama masalahnya ada di sistem, mengambil hak rakyat bukan jawabannya. Yang harus diubah bukan rakyatnya, tetapi mesin politik yang selama ini bekerja buruk atas nama mereka,” tandasnya. (R Robi Ramdan)
