Pemuda di Tasikmalaya Tolak Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD

pemilihan tidak langsung kepala daerah
gambar ilustrasi: ChatGPT
0 Komentar

TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD yang disuarakan Presiden Prabowo Subianto dan Partai Golkar menuai penolakan dari kalangan pemuda di Kabupaten Tasikmalaya.

Mereka menilai wacana tersebut bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan berpotensi melemahkan kualitas demokrasi.

Pemuda Tasikmalaya Timur, Ali Primadani, menyatakan tidak setuju dengan pemilihan kepala daerah oleh DPRD.

Baca Juga:Benarkah Ada Peran "Ketua Para Pemuda" di Balik Proyek Padel Bermasalah Kota Tasikmalaya!Jalan Panjang Unsil Tasikmalaya Menuju Fakultas Kedokteran Akan Dimulai!

Menurutnya, pemilihan langsung merupakan wujud nyata demokrasi karena rakyat memiliki hak menentukan pemimpinnya sendiri.

“Jika pemilihan dikembalikan ke DPRD, maka hak politik rakyat dipangkas dan kedaulatan berpindah ke segelintir elite politik,” ujarnya.

Ali menilai pemilihan oleh DPRD rawan transaksi politik dan kepentingan elite.

Kepala daerah yang terpilih berpotensi lebih loyal kepada partai atau fraksi, bukan kepada rakyat.

Hal tersebut dinilai dapat melemahkan akuntabilitas kepala daerah karena orientasi pertanggungjawaban bergeser dari publik ke DPRD.

Ia menegaskan pemilihan langsung kepala daerah merupakan capaian penting Reformasi 1998. Jika alasan wacana ini karena biaya dan konflik politik, menurutnya solusi yang tepat adalah memperbaiki sistem pilkada, bukan mencabut hak pilih rakyat.

“Demokrasi memang mahal, tetapi harga demokrasi tidak boleh dibayar dengan mengorbankan hak rakyat. Yang dibutuhkan adalah komitmen memperbaiki kualitas demokrasi, bukan menguranginya,” tegasnya.

Baca Juga:Padel yang Menggelisahkan: Izin Belum Keluar, Bangunan Sudah Berdiri di Kota TasikmalayaMampir ke Bambu Apus!

Sementara itu, pemuda Tasikmalaya Selatan, Fajar Adhari SIP, menilai persoalan utama pilkada bukan pada rakyat, melainkan pada sistem dan integritas penyelenggara.

Ia menyebut wacana pemilihan oleh DPRD kerap dianggap solusi instan karena dinilai lebih murah dan minim konflik, namun logika tersebut dinilai keliru.

“Kelemahan sistemik itulah yang membuat demokrasi terlihat mahal, kacau, dan melelahkan,” ujarnya.

Fajar mengungkapkan berbagai persoalan pemilu selama ini, mulai dari lemahnya pengawasan, kesalahan teknis, hingga masalah logistik dan daftar pemilih tetap.

Menurutnya, banyak bukti menunjukkan persoalan ada pada tata kelola lembaga penyelenggara, bukan pada partisipasi rakyat.

“Inilah bukti bahwa permasalahan ada pada institusi dan aturan, bukan pada partisipasi rakyatnya,” katanya.

Ia menilai pengawasan pemilu kerap berakhir tanpa penyelesaian tuntas karena kewenangan Bawaslu yang terbatas.

0 Komentar