Ia menyinggung fenomena kader instan, figur populer dadakan masuk parlemen, hingga citra DPRD yang kerap dikaitkan dengan praktik transaksional.
“Rakyat sudah tidak percaya dengan DPRD. Kalau kepala daerah dipilih oleh DPRD, kepercayaan publik bisa makin turun,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati, menegaskan bahwa wacana ini harus dikaji secara komprehensif.
Baca Juga:Liputan Khusus Kepala Daerah Dipilih DPRD: Kata Wakil Rakyat Kota Tasikmalaya Ada Plus dan MinusDKK Kota Tasikmalaya Satukan Seni dan Budaya, Bidik Generasi Z Lewat Kolaborasi Kekinian
Ia mengingatkan bahwa Indonesia pernah mengalami fase pilkada tidak langsung, yang justru menyedot biaya politik sangat besar.
“Jumlahnya itu sangat fantastis, bahkan melebihi pilkada langsung,” tuturnya.
Selain mahal, mekanisme tersebut dinilai menciptakan ruang gelap transaksi politik antara internal partai dan anggota DPRD.
Masyarakat, kata Neni, tidak memiliki ruang untuk mengawasi maupun mengontrol proses tersebut.
“Tidak ada jaminan ketika dipilih DPRD biaya politik lebih murah, malah bisa lebih mahal,” ujarnya.
Meski demikian, Neni mengusulkan konsep pilkada asimetris sebagai alternatif.
Dalam skema ini, tidak semua daerah harus menggunakan sistem yang sama.
Gubernur tetap dipilih langsung oleh rakyat, sementara kabupaten/kota tertentu dapat dipilih DPRD dengan pertimbangan khusus, seperti tingkat kerawanan konflik atau kapasitas fiskal.
Baca Juga:Pulang Dini Hari, Dua Pelajar di Kota Tasikmalaya Diduga Jadi Korban Pengeroyokan Geng Motor Ketika Batik dan Musik Bertemu di Kota Tasikmalaya, Cerita Malam Kedua Priangan Bamboo Festival
Namun, daerah yang telah matang secara demokrasi, termasuk Kota Tasikmalaya, seharusnya tetap mempertahankan pilkada langsung.
Menurut Neni, persoalan utama pilkada langsung bukan terletak pada sistem, melainkan pada lemahnya penegakan hukum, aturan yang multitafsir, minimnya pendidikan politik, serta kultur partai yang masih transaksional.
“Kita seharusnya menuntaskan akar masalahnya, bukan terus mengganti sistem,” tegasnya.
Di tengah menguatnya kembali wacana dari elite politik nasional, para pengamat sepakat bahwa demokrasi lokal telah memiliki ruang perbaikan melalui pilkada serentak.
Persoalan biaya dan efektivitas seharusnya diselesaikan lewat penguatan regulasi dan reformasi partai politik, bukan dengan menarik mundur hak pilih rakyat.
Dengan demikian, wacana pilkada tidak langsung bukan sekadar soal mekanisme, melainkan menyangkut arah masa depan demokrasi lokal: tetap terbuka bagi rakyat atau kembali menjadi arena tertutup transaksi elite politik. (ayu sabrina)
