Liputan Khusus Kepala Daerah Dipilih DPRD: Kata Mahasiswa, Kemunduran Demokrasi di Kota Tasikmalaya

kemunduran demokrasi di Kota Tasikmalaya
Sekretaris Pelajar Islam Indonesia (PII) Jawa Barat, M Jausan Kamil. istimewa for radartasik.id
0 Komentar

TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID — Wacana pengembalian mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD kembali menuai kontroversi.

Di Kota Tasikmalaya, beragam suara kritis bermunculan dari mahasiswa hingga masyarakat akar rumput, menandakan isu ini perlu dikaji secara matang dan mendalam.

Mahasiswa Tasikmalaya yang juga Sekretaris Pelajar Islam Indonesia (PII) Jawa Barat, M Jausan Kamil, menilai gagasan tersebut sebagai sinyal kemunduran demokrasi sekaligus reduksi kedaulatan rakyat.

Baca Juga:Liputan Khusus Kepala Daerah Dipilih DPRD: Viman-Diky Soroti Konstitusi, Efisiensi, dan Risiko PolitikLiputan Khusus Kepala Daerah Dipilih DPRD: Kata Mantan Wali Kota Tasikmalaya, Hilangkan Threshold

Menurutnya, pemilihan langsung kepala daerah merupakan hasil perjuangan panjang reformasi, bukan kebijakan yang lahir secara instan.

“Pemilihan langsung bukan hadiah, tetapi buah dari perjuangan besar untuk mewujudkan prinsip one vote, one people. Jika dikembalikan ke DPRD, itu sama saja membalik arah sejarah demokrasi,” ujarnya kepada Radar Tasik, Jumat 13 Desember 2025.

Ia menegaskan bahwa demokrasi di Indonesia ditegakkan dengan pengorbanan besar, bahkan dibayar dengan darah.

Karena itu, hak rakyat untuk memilih pemimpin tidak seharusnya dikorbankan dengan dalih apa pun.

“Demokrasi itu diperjuangkan, bukan untuk dipangkas demi stabilitas semu,” tegasnya.

Jausan juga menolak alasan efisiensi biaya politik yang kerap dijadikan pembenaran.

Menurutnya, mahalnya ongkos politik bukan disebabkan oleh rakyat, melainkan lemahnya tata kelola partai politik dan sistem penyelenggaraan pemilu.

Baca Juga:Liputan Khusus Kepala Daerah Dipilih DPRD: Akademisi Nilai Lebih Efisien dan Minim KorupsiLiputan Khusus Kepala Daerah Dipilih DPRD: Kata Wakil Rakyat Kota Tasikmalaya Ada Plus dan Minus

“Mengalihkan pemilihan ke DPRD justru mempersempit akses rakyat dan membuka ruang transaksi politik dengan jumlah pemilih yang terbatas. Itu jauh lebih berbahaya,” katanya.

Ia mendorong solusi berupa perbaikan sistem pemilu, transparansi pendanaan kampanye, serta masifikasi pendidikan politik.

“Yang perlu dievaluasi itu elitnya, bukan hak rakyat. Kedaulatan tidak bisa diwakilkan. Rakyat adalah pemilik mandat tertinggi dalam negara,” ujarnya.

Pandangan kritis juga datang dari warga.

Azmi Kholifiah (37), ibu rumah tangga asal Sukarindik, Kecamatan Bungursari, mengaku pilkada kerap memicu gesekan sosial akibat perbedaan pilihan politik. Meski demikian, ia juga bersikap realistis dan cenderung apatis.

“Kadang kita hanya tertarik pada figur dan pencitraan, bukan program. Setelah terpilih juga rasanya tidak banyak berubah. Kita tetap harus usaha, bekerja, dan bayar pajak,” ungkapnya.

0 Komentar