Liputan Khusus Kepala Daerah Dipilih DPRD: Akademisi Nilai Lebih Efisien dan Minim Korupsi

akademisi nilai pilkada oleh DPRD lebih efisien
Direktur Pascasarjana Sekolah Tinggi Hukum Galunggung (STHG), Dr HN Suryana SH SSos MH. istimewa for radartasik.id
0 Komentar

TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID — Wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD yang kembali mengemuka dan disuarakan Presiden Prabowo Subianto serta Partai Golkar mendapat sorotan dari kalangan akademisi.

Direktur Pascasarjana Sekolah Tinggi Hukum Galunggung (STHG), Dr HN Suryana SH SSos MH, menilai mekanisme tersebut justru lebih rasional dan sesuai dengan semangat konstitusi.

Pada tahun ini dirinya telah melakukan penelitian berjudul Preferensi Masyarakat Priangan Timur Terhadap Pemilihan Kepala Daerah Oleh DPRD: Pendekatan Kuantitatif.

Baca Juga:DKK Kota Tasikmalaya Satukan Seni dan Budaya, Bidik Generasi Z Lewat Kolaborasi KekinianPulang Dini Hari, Dua Pelajar di Kota Tasikmalaya Diduga Jadi Korban Pengeroyokan Geng Motor 

Hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa sistem pemilihan langsung kepala daerah belum sepenuhnya memenuhi harapan para perumus demokrasi pascareformasi.

“Dasar hukumnya jelas. Dalam Pancasila sila keempat diatur prinsip perwakilan. Artinya, kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui wakil-wakilnya, dalam hal ini DPRD,” ujar Suryana saat dikonfirmasi, Selasa 9 Desember 2025.

Pakar ahli hukum tata negara ini menjelaskan, pada awal reformasi, pemilihan langsung kepala daerah diharapkan melahirkan pemimpin yang aspiratif dan memahami persoalan masyarakat.

Namun dalam praktiknya, harapan tersebut tidak berjalan sesuai kenyataan.

“Yang terjadi justru masyarakat terbuai money politic. Segala sesuatu diukur dengan uang,” katanya.

Suryana memaparkan, sejak 2004 hingga 2024 tercatat sebanyak 167 kepala daerah menjadi tersangka KPK.

Jika dibandingkan dengan jumlah total daerah di Indonesia yang mencapai sekitar 650 wilayah, angka tersebut setara dengan 25 persen.

“Itu angka yang sangat besar. Ini menunjukkan sistem pemilihan langsung jauh dari cita-cita awal,” terangnya.

Selain persoalan korupsi, ia juga menyoroti tingginya biaya Pilkada.

Baca Juga:Ketika Batik dan Musik Bertemu di Kota Tasikmalaya, Cerita Malam Kedua Priangan Bamboo FestivalMuslimah Kota Tasikmalaya Cari Ruang Aman Emosional

Sebagai contoh, Pilkada Kabupaten Tasikmalaya menelan anggaran sekitar Rp160 miliar, ditambah PSU sebesar Rp60 miliar.

Jika digabungkan dengan biaya kampanye para calon, total anggaran bisa mendekati Rp500 miliar.

“Bayangkan kalau anggaran sebesar itu digunakan untuk membangun jalan, jembatan, puskesmas, sekolah, atau mendukung UMKM. Dampaknya jauh lebih signifikan bagi masyarakat,” bebernya.

Dari sisi politik, pemilihan langsung juga dinilai memicu polarisasi dan perpecahan sosial yang dampaknya bisa berlangsung hingga bertahun-tahun.

Sementara dari sisi hukum, biaya politik yang tinggi mendorong kepala daerah mencari cara mengembalikan modal ketika berkuasa.

0 Komentar