Demokrasi Berutang, Korupsi Menagih: Ketika Kursi Kekuasaan Dibeli dengan Cicilan!

Korupsi kepala daerah
Ilustrasi: AI
0 Komentar

JAKARTA, RADARTASIK.ID – Di negeri ini, politik rupanya bukan lagi panggung gagasan. Ia telah berubah menjadi etalase kredit tanpa bunga—asal lunasnya belakangan.

Kampanye mahal, baliho berderet, relawan bergerak, dan logistik mengalir. Semua serba “siap dulu, bayar nanti.” Nanti itu, ternyata, sering kali jatuh tempo di kantor KPK.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengingatkan publik pada hukum tak tertulis dalam demokrasi berbiaya tinggi. Siapa pun yang terpilih, hampir pasti membawa utang. Dan utang—seperti air—selalu mencari jalan keluar.

Baca Juga:Benarkah Ada Peran "Ketua Para Pemuda" di Balik Proyek Padel Bermasalah Kota Tasikmalaya!Jalan Panjang Unsil Tasikmalaya Menuju Fakultas Kedokteran Akan Dimulai!

Dalam kasus Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya, jalan keluar itu diduga bernama suap dan proyek. Nilainya pun bukan receh: Rp5,25 miliar utang kampanye Pilkada 2025 yang konon harus ditutup, bahkan berlebih hingga Rp5,75 miliar dari “fee” proyek.

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, dengan nada yang terdengar seperti déjà vu nasional, menyebut mahalnya ongkos politik sebagai pemicu kepala daerah terseret korupsi.

Logikanya sederhana dan ironis: setelah dilantik, euforia jabatan bertemu kenyataan cicilan. Maka kekuasaan bekerja seperti mesin ATM—tinggal gesek kewenangan.

KPK mencatat, kebutuhan dana partai politik tak hanya berhenti pada masa kampanye. Operasional, konsolidasi, hingga pemenangan pemilu berikutnya menuntut arus kas yang stabil.

Sayangnya, stabilitas itu sering kali dicari di tempat yang salah. Minimnya transparansi laporan keuangan partai membuka celah bagi dana-dana ilegal untuk menyelinap rapi, berjas, dan berkop partai.

Di titik ini, demokrasi seperti pasar malam: tiket masuk mahal, hadiah diundi belakangan. Kaderisasi dan rekrutmen yang lemah memperparah keadaan.

Mahar politik menjadi pintu utama, gagasan jadi pelengkap. Siapa paling siap setor, dialah yang maju. Siapa paling cepat balik modal, dialah yang bertahan.

Baca Juga:Padel yang Menggelisahkan: Izin Belum Keluar, Bangunan Sudah Berdiri di Kota TasikmalayaMampir ke Bambu Apus!

Kasus Lampung Tengah menggambarkan pola yang nyaris klise. Setelah dilantik, Ardito diduga mengatur pemenangan vendor proyek pengadaan barang dan jasa.

Proyek alat kesehatan ikut masuk daftar. Fee mengalir, utang kampanye terbayar, dan negara. Lagi-lagi—menjadi penonton yang membayar tiket termahal.

0 Komentar