Kenaikan tersebut mencerminkan meningkatnya biaya hidup yang semakin mempersempit ruang bertahan kelompok masyarakat rentan.
Menanggapi kondisi tersebut, Wali Kota Tasikmalaya Viman Alfarizi Ramadhan mengakui bahwa indikator ketenagakerjaan dan kesejahteraan masih menjadi pekerjaan rumah besar pemerintah kota.
“Memang tingkat pengangguran terbuka kami sampai di angka 6,8 persen. Ini mesti kami jaga agar tidak kian naik,” kata Viman.
Baca Juga:Liputan Khusus Kepala Daerah Dipilih DPRD: Kata Wakil Rakyat Kota Tasikmalaya Ada Plus dan MinusDKK Kota Tasikmalaya Satukan Seni dan Budaya, Bidik Generasi Z Lewat Kolaborasi Kekinian
Ia menyebut salah satu strategi utama Pemkot Tasikmalaya adalah mendorong UMKM naik kelas agar mampu menciptakan lapangan kerja baru.
“Dengan cara UMKM naik level, kriyanya, bambunya bisa membuka lapangan kerja. Sesuai visi misi kami, Tasik Pelak,” ujarnya.
Sementara itu, pemerhati anggaran dari Perkumpulan Inisiatif, Nandang Suherman, menilai kinerja pengentasan kemiskinan di Kota Tasikmalaya belum menunjukkan perbaikan signifikan.
Bahkan, secara posisi, Kota Tasikmalaya sempat mengalami penurunan peringkat.
“Dalam kinerja pengentasan kemiskinan, Kota Tasik mengalami peningkatan urutan persentase kemiskinan, dari urutan 25 pada 2023–2024 menjadi urutan 26, setelah disalip Kabupaten Kuningan,” tutur Nandang.
Ia juga menyoroti indikator ketenagakerjaan.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Kota Tasikmalaya masih berada di angka 6,43 persen.
Meski tercatat menurun dibanding 2024, penurunannya dinilai belum signifikan.
Adapun tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) Kota Tasikmalaya berada di angka 66,31 persen.
Menurut Nandang, terdapat korelasi kuat antara kemiskinan, pengangguran terbuka, dan partisipasi angkatan kerja.
Baca Juga:Pulang Dini Hari, Dua Pelajar di Kota Tasikmalaya Diduga Jadi Korban Pengeroyokan Geng Motor Ketika Batik dan Musik Bertemu di Kota Tasikmalaya, Cerita Malam Kedua Priangan Bamboo Festival
“Atas dasar itu, perlu dipertanyakan apakah OPD yang masuk kluster ekonomi sudah menyusun program yang benar-benar sinergis untuk mengatasi persoalan pengangguran dan penyediaan lapangan pekerjaan,” katanya.
Ia menilai penajaman kebijakan menjadi kunci agar kolaborasi antar-OPD berjalan efektif.
Tanpa perencanaan yang terarah, intervensi program berisiko tidak menyentuh akar persoalan.
“Jangan-jangan belanja atau intervensi program OPD kluster ekonomi kurang fokus dan tidak didasarkan pada analisis yang kuat terhadap persoalan pengangguran dan lapangan pekerjaan,” tambahnya.
Nandang juga menyinggung sejumlah program pemerintah daerah seperti Program Bageur dan Program Bakul Tasik.
Menurutnya, program-program tersebut cenderung bersifat karitatif dan lebih menyerupai gimmick karena berfokus pada bantuan, bukan pada penciptaan lapangan kerja.
