Kami lalu masuk ke soal masa depan Jawa Barat. H Amir bicara dengan nada optimis: Semakin banyak pengusaha muda. Semakin berani. Semakin mandiri.
“Jawa Barat ini gudang anak muda. Tapi jangan hanya jadi pekerja. Jadilah pengusaha. Tapi juga jangan takut masuk politik. Pengusaha yang tidak punya akses kekuasaan itu repot,” ujarnya sambil tertawa pendek.
Cara bicaranya mengingatkan saya pada pengusaha-pengusaha generasi 80-an: berani, tapi tetap punya idealisme soal kemanfaatan.
Baca Juga:Meneropong Beban Hening Sekda Kota Tasikmalaya Asep Goparullah!Pengamat Heran, Kota Tasikmalaya Kota Tasikmalaya Seperti Jalan di Tempat, Tak Ada Perubahan Menonjol
Di akhir diskusi, langit sudah hampir gelap. Angin dari pepohonan besar itu membuat udara terasa seperti di Puncak—padahal kami masih di Jakarta Timur.
“Tiap tamu harus makan enak,” kata H Amir.
Ia berdiri dan mengajak kami naik sebuah Alphard putih. Bukan mobil sembarangan.
“Kendaraan ini pernah dipakai Pak Prabowo waktu kampanye dulu,” ujarnya sambil membuka pintu.
Ia mengucapkannya tanpa nada pamer—lebih seperti seseorang yang menceritakan sejarah sebuah benda yang ia hormati.
Tujuan kami: warung sate kambing muda terenak di sekitar Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Tempat sederhana, tapi dengan rasa yang sulit dikalahkan restoran mahal.
H Amir makan dengan lahap, sambil terus bercerita. Tentang Jawa Barat. Tentang politik. Tentang mimpi menyusun kekuatan pengusaha muda.
Tentang hidup yang katanya “harus berguna, bukan hanya terkenal.”
Begitulah H Amir Mahpud. Blak-blakan. Apa adanya.
Baca Juga:Endang Juta Sebut Dirinya Tak Masuk Pengurus CV Galunggung MandiriHakim Ungkap Hasil BAP Endang Juta, Dalih Tumpukan Pasir Sisa Reklamasi Terpatahkan
Tapi dengan satu kegelisahan yang sangat serius: bagaimana membuat rakyat khususnya Jawa Barat lebih sejahtera.
Dan mungkin itu sebabnya rumahnya rimbun, luas dan selalu terbuka.
Karena ia percaya: pemimpin harus menyediakan ruang. Bukan hanya untuk tamu, tapi juga untuk kesempatan. (red)
