Kondisi ini membuat perhitungan kubikasi sampah antara volume riil pedagang dan beban area sekitar bercampur menjadi satu. Akibatnya, tagihan retribusi kerap diberi toleransi pengurangan.
Di sisi lain, problem klasik pasar tetap muncul: keterlambatan pengangkutan, penumpukan pada hari sibuk, serta lokasi TPS yang sempit.
Semua mempengaruhi citra pelayanan, sehingga penagihan retribusi tak bisa dimaksimalkan.
Pelayanan tidak selalu optimal, pedagang tidak merasa wajib membayar lebih. Angka PAD pun stagnan di nominal yang sama bertahun-tahun.
Baca Juga:Tanpa Karcis, Parkir Gratis! Jadi Komedi Akhir Tahun Dishub Kota TasikmalayaTim Futsal UIN SGD Bandung Punya DNA Juara, Tinggal Jaga Mental dan Kekompakan!
Berbeda dengan sektor permukiman yang menggunakan karcis, pasar menggunakan Surat Keterangan Retribusi Daerah (SKRD).
Di dalam dokumen itu tertera hasil perhitungan kubik sampah yang diangkut, tapi tidak menunjukkan kontribusi per pedagang atau kelompok.
Pada titik inilah muncul celah transparansi. Berapa sebenarnya volume sampah pasar per bulan?, siapa yang menghitung?, berapa yang dibayar pengurus pasar dan bagaimana pola pembagiannya ke tiap pedagang?.
DLH menargetkan PAD retribusi sampah tahun 2025 sebesar Rp 2 miliar. Namun hingga akhir tahun, pencapaiannya baru sekitar Rp 1,6 miliar—sekitar 80 persen dari target.
Menariknya, bagi DLH, tingginya capaian PAD bukan sesuatu yang sepenuhnya menyenangkan.
Sebab jika edukasi pengurangan sampah berhasil, volume sampah seharusnya turun dan otomatis target retribusi pun ikut menurun. “Kalau edukasi berhasil, volume sampah berkurang. Konsekuensinya capaian retribusi juga ikut berkurang,” jelas Feri.
Inilah paradoks tata kelola persampahan: pemerintah ingin sampah berkurang, tapi pendapatan daerah dari sampah justru naik jika volume sampah bertambah.
Baca Juga:Parkir di Kota Tasikmalaya Harusnya Digratiskan! Perwalkot yang Salah Tidak Layak DiterapkanPMI Garut Kirim Personel ke Aceh untuk Bantu Penanggulangan Bencana
Dengan 4.000 pedagang, ribuan transaksi per hari, puluhan ton sampah organik dan anorganik, serta ritme kerja yang padat, logika sederhana mengatakan potensi PAD semestinya jauh di atas angka Rp 12 juta.
Namun angka itu tetap sama selama bertahun-tahun. Tidak naik, tidak menembus potensi dan tidak mencerminkan aktivitas raksasa di pasar terbesar Tasikmalaya ini.
Dan selama dokumen SKRD tidak memuat detail pembayaran per kelompok, publik tidak akan pernah benar-benar tahu apakah Rp 12 juta per bulan adalah angka yang wajar—atau justru tanda bahwa potensi PAD Cikurubuk masih jauh dari digarap. (rangga jatnika)
