“Kami tidak minta pendanaan. Kami hanya butuh apresiasi,” tegas Angga.
Empat atlet bertanding membawa nama Kota Tasikmalaya, meraih medali di tingkat nasional, namun pulang tanpa sepeser pun bonus.
Padahal, level kejuaraan yang diikuti setara nasional dan menjadi tolok ukur prestasi olahraga sejati.
Baca Juga:Gotong Royong Menjawab Kekosongan Negara di Kabupaten Tasikmalaya: Cerita dari Kertaraharja dan PurwarahayuEnam DPC PDI Perjuangan Dilantik Serentak di Kota Tasikmalaya, Garut Menyusul?
Dalam semangat sportivitas, bonus sejatinya adalah bentuk penghormatan atas kerja keras dan dedikasi atlet.
Namun di Kota Tasikmalaya, praktik tersebut justru membuka wajah lain pembinaan olahraga: ketimpangan perlakuan antar-cabor.
Jika dibiarkan, kondisi ini dikhawatirkan memicu kecemburuan, menurunkan motivasi atlet non-sepak bola, serta menghambat pembinaan olahraga yang adil dan berkelanjutan.
“Kami berharap praktik diskriminatif ini diakhiri. Semua cabor punya kontribusi, jangan tebang pilih,” harap Angga.
Pertina, Persikotas, dan seluruh cabor lain sama-sama berlaga membawa nama Kota Tasikmalaya.
Penghargaan pun seharusnya tidak ditentukan oleh popularitas atau sorotan kamera, melainkan oleh prestasi.
Sebab prestasi adalah prestasi—apa pun cabangnya. Jika medali emas saja tak dihargai, nilai apa sebenarnya yang ingin dijunjung Kota Tasikmalaya dalam dunia olahraga. (firgiawan)
