Pengamat Heran, Kota Tasikmalaya Kota Tasikmalaya Seperti Jalan di Tempat, Tak Ada Perubahan Menonjol

pembangunan kota tasikmalaya jalan di tempat
Lapak pedagang kaki lima berderet di sepanjang trotoar Dadaha. Padahal area tersebut seharusnya merupakan milik pejalan kaki. Namun pemandangan ini nyaris tak pernah berubah selama bertahun-tahun. (Ayu Sabrina/radartasik.id)
0 Komentar

Data APBD 2025 mencatat belanja modal Pemkot Tasikmalaya hanya Rp83 miliar, atau sekitar 2,8 persen dari total belanja—jauh di bawah amanat undang-undang yang mensyaratkan minimal 40 persen dari total belanja pembangunan.

Bahkan dana pusat yang dulu menjadi penopang pembangunan fisik tak lagi hadir. Pada 2022, DAK Fisik–Nonfisik mencapai Rp211 miliar. Tahun 2024 naik menjadi Rp299 miliar.

Namun kini, DAK Fisik hilang sama sekali. Tinggal DAK non fisik yang nilainya tidak signifikan.

Baca Juga:Endang Juta Sebut Dirinya Tak Masuk Pengurus CV Galunggung MandiriHakim Ungkap Hasil BAP Endang Juta, Dalih Tumpukan Pasir Sisa Reklamasi Terpatahkan

“Bantuan provinsi pun minim, hanya untuk menutup BPJS. Mau tidak mau PAD jadi tumpuan, tapi upaya menaikkannya tidak terlihat,” ujar Nandang.

Ia mencontohkan penataan parkir yang tidak menghasilkan lonjakan pendapatan, padahal sempat digadang sebagai langkah strategis.

“Sektor hotel–restoran stagnan. Padahal potensinya besar,” ungkapnya.

BIROKRASI KEHILANGAN ARAH

Dalam telaahnya, Nandang menyebut persoalan terbesar bukan semata angka, melainkan kelemahan manajerial.

Sekretaris Daerah, Asep Goparulloh, dinilai belum mampu mengonsolidasi kepala dinas.

“ASN-nya itu-itu juga, tapi leadership-nya tidak kuat. Merit system dan manajemen talenta hanya berhenti di pidato. Tidak pernah diterjemahkan ke kebijakan,” ujarnya.

Akibatnya, mesin birokrasi bekerja tanpa koordinasi solid. Perencanaan tidak presisi. Evaluasi lemah.

“Publik pun tidak diajak mengawal. Ruang partisipasi minim,” tambahnya.

Penganggaran lebih banyak berkutat pada penyelamatan kepentingan internal. TAPD menjaga TPP tetap tinggi, DPRD mempertahankan besaran pokir di kisaran Rp1,5 miliar per anggota.

Baca Juga:UIN SGD Bandung Perkasa di Regional Nasional, Bantai Atma Jaya 5–2 dan Sempurna di Grup B!SMPN 2 Kota Tasikmalaya: Dari Halaman Sekolah ke Panggung Penghargaan Adiwiyata Mandiri 2025!

“Sebagian besar hanya menghasilkan DED (detail engineering design) atau FS (feasbility study). Kertas kerja, bukan pembangunan,” kata Nandang.

Minimnya belanja modal langsung ini, lanjut Nandang, dirasakan warga. Di banyak titik, jalan mulai berlubang. PJU padam berhari-hari. Air minum masih bermasalah.

Persoalan-persoalan itu dianggap kewenangan pihak lain, padahal masyarakat tidak peduli siapa pemilik domain teknis.

“Warga taunya mereka bayar pajak. Mereka ingin layanan dasar. Itu saja,” tegas Nandang.

Berdasarkan analisis APBD 2017–2025, Nandang menyimpulkan tiga gejala. Pendapatan daerah fluktuatif, tapi tren keseluruhannya turun sejak 2021. Kapasitas fiskal melemah, terutama akibat mengecilnya dana transfer dan SILPA menyusut, membuat ruang gerak pembangunan kian sesak.

0 Komentar