H Asep Goparullah belakangan kerap terlihat menjaga ritme kerja ASN lebih ketat.
Di satu sisi, publik ingin pelayanan cepat, disiplin ASN meningkat, dan program berjalan tanpa hambatan.
Di sisi lain, setiap upaya pengetatan birokrasi menimbulkan gesekan—ada yang merasa ditekan, ada yang merasa digeser, ada pula yang merasa diabaikan.
Baca Juga:Pengamat Heran, Kota Tasikmalaya Kota Tasikmalaya Seperti Jalan di Tempat, Tak Ada Perubahan MenonjolEndang Juta Sebut Dirinya Tak Masuk Pengurus CV Galunggung Mandiri
Dan seperti biasa, ketika ada yang bergeser, Sekda-lah yang disebut. Ketika ada yang belum beres, Sekda-lah yang diteriaki. Ketika ada manuver politik yang tak sinkron, Sekda-lah yang dianggap tidak peka.
Padahal ia justru berdiri di posisi paling sulit: menjalankan teknokrasi di tengah politik yang selalu ingin berlari mendahului birokrasi.
Sekda adalah jabatan yang menuntut keseimbangan ekstrem. Loyal pada kepala daerah, objektif kepada ASN, adil kepada semua dinas, dan tetap tenang meski kritik datang bertubi-tubi.
Namun publik tetap membaca gestur, nada bicara, hingga pilihan diksi sebagai simbol politik.
Dalam banyak kesempatan, Asep Goparullah sesungguhnya berupaya menjaga ruang aman pemerintah kota: memastikan roda berjalan, menghindari konflik terbuka, dan memberi jeda bagi ASN agar tetap fokus pada pekerjaan. Tapi di era konten, setiap gerakan bisa salah tafsir dan Sekda kembali menjadi sasaran.
Tak jarang, para kepala dinas pun “bersembunyi” di balik nama besar Sekda ketika program mandek atau target meleset.
Dan masyarakat yang mendengar satu-dua keluhan segera membangun simpulan. Sekda kurang tegas, kurang cepat, atau kurang responsif.
Baca Juga:Hakim Ungkap Hasil BAP Endang Juta, Dalih Tumpukan Pasir Sisa Reklamasi TerpatahkanUIN SGD Bandung Perkasa di Regional Nasional, Bantai Atma Jaya 5–2 dan Sempurna di Grup B!
Padahal, mungkin ia hanya sedang melakukan apa yang paling sulit dilakukan seorang birokrat. Menjaga mesin tetap hidup sambil meredam panas yang datang dari segala arah.
Dari kejauhan, publik melihat seorang Asep Goparullah berusaha menjaga keseimbangan yang tidak pernah stabil—berdiri di tengah arus birokrasi yang berat, ekspektasi publik yang meningkat, dan dinamika politik yang tak selalu bisa diprediksi.
Ia jarang menjelaskan keluh kesahnya ke publik. Tapi dari rautnya dari gerak-geriknya, dari cara ia menahan komentar, kita bisa menangkap: posisi Sekda bukan sekadar jabatan, tetapi juga risiko.
