TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Di banyak ruang rapat pemerintahan, ada satu kursi yang tidak pernah benar-benar nyaman: kursi sekretaris daerah Kota Tasikmalaya.
Kursi itu tampak empuk dari jauh, penuh wibawa, sering disebut-sebut sebagai “otak” jalannya birokrasi.
Tapi bila ditanya pada orang yang duduk di atasnya, mungkin jawabannya lain: kursi itu panas, sempit, dan kadang terasa seperti berdiri di tengah lapang tembak.
Baca Juga:Pengamat Heran, Kota Tasikmalaya Kota Tasikmalaya Seperti Jalan di Tempat, Tak Ada Perubahan MenonjolEndang Juta Sebut Dirinya Tak Masuk Pengurus CV Galunggung Mandiri
Itulah yang mungkin sedang dirasakan Sekretaris Daerah Kota Tasikmalaya, H Asep Goparullah.
Dari kejauhan saja, publik bisa membaca: ia berada dalam posisi serba salah—bukan karena tidak bekerja, tetapi justru karena seluruh simpul kerja pemerintah kota menggantung di pundaknya.
Dan semakin tinggi harapan publik, semakin sering pula ia menjadi alamat keluhan, kritik, bahkan tudingan.
“Kalau bagus, nama kepala daerah. Kalau jelek, ya Sekda.” ujar salah seorang pejabat eselon II yang meminta namanya tidak disebutkan.
Begitulah rumus tak tertulis yang hidup di banyak daerah. Sekda dianggap sebagai eksekutor semua kebijakan, pengendali ritme ASN, dan penanggung jawab ketika mesin birokrasi tersendat.
Ia jarang mendapat panggung ketika program berjalan baik, tapi nyaris selalu dipanggil ketika ada yang tidak sesuai rencana.
Dalam situasi politik Kota Tasikmalaya yang dinamis, penuh narasi dan kerap bergerak lebih cepat daripada birokrasi, posisi Sekda semakin rumit.
Baca Juga:Hakim Ungkap Hasil BAP Endang Juta, Dalih Tumpukan Pasir Sisa Reklamasi TerpatahkanUIN SGD Bandung Perkasa di Regional Nasional, Bantai Atma Jaya 5–2 dan Sempurna di Grup B!
Ia bukan politisi, tetapi ia harus menavigasi konsekuensi politik. Ia bukan alat pencitraan, tetapi ia harus hadir di berbagai panggung yang implikasinya kadang lebih simbolik daripada substantif. Ia bukan perumus visi, tetapi ia harus mengeksekusi visi yang kadang berubah sesuai momentum.
Maka jadilah Sekda berada di titik paling rawan: di antara kepala daerah dan para ASN, di antara ekspektasi publik dan keterbatasan birokrasi, di antara kebijakan yang harus dipercepat dan struktur yang tak selalu siap dipaksa.
Dari luar, ruang kerja Sekda tampak rapi, tenang dan teratur. Tapi siapa pun yang pernah masuk birokrasi tahu: di ruang itulah laporan terakhir berhenti, aduan pertama masuk, dan semua mata tertuju ketika ada yang harus diputuskan cepat.
