Menurutnya, sebagai perpanjangan tangan Kementerian ESDM, UPT seharusnya tampil lebih aktif memberikan arah kebijakan, rekomendasi, dan evaluasi yang nyata di lapangan.
Hendra menjelaskan bahwa APRI bersama Koperasi Tunggal Mandiri Bersatu telah mengajukan penetapan WPR sejak akhir 2020, setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba.
Pengajuan tersebut didasarkan pada lokasi tambang rakyat yang telah beroperasi secara tradisional sejak tahun 1970-an.
Baca Juga:GP Ansor Kabupaten Tasikmalaya Kuatkan Kader, Gelar Konsolidasi Organisasi di Enam ZonaAnggota DPRD Kabupaten Tasikmalaya Aldira Yusup Soroti Penutupan Tambang Emas: WPR Belum Dirasakan Rakyat!
Usulan itu kemudian dikabulkan melalui Surat Keputusan Kementerian ESDM pada tahun 2022. WPR yang ditetapkan meliputi dua kecamatan, yaitu Cineam dan Karangjaya, serta lima desa dengan total luas mencapai 433 hektare.
“WPR yang sudah ditetapkan ini merupakan aset Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya. WPR adalah syarat utama terbitnya Izin Pertambangan Rakyat (IPR) karena mencakup kelengkapan dokumen teknis dan administratif,Harapan kami jelas: agar masyarakat penambang mendapatkan kepastian legal dan peningkatan kesejahteraan,” ujar Hendra.
Ia menegaskan bahwa pengelolaan WPR harus benar-benar berpihak kepada masyarakat penambang, bukan kepada pemilik modal besar.
“Rakyat harus mandiri. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Jangan sampai aset yang kami kawal sejak awal ini justru dimanfaatkan segelintir pengusaha besar. Kami tidak ingin WPR berubah menjadi sumber keuntungan pribadi yang tidak berdampak pada kesejahteraan masyarakat,” tegasnya.
Terkait meningkatnya persoalan hukum yang menyeret para penambang rakyat, Hendra menilai UPT ESDM Wilayah VI seharusnya memiliki kajian menyeluruh mengenai kondisi pertambangan di wilayah tersebut. Ia menilai lembaga itu semestinya dapat memberi masukan strategis kepada kementerian agar solusi yang ditetapkan sesuai dengan realitas lapangan.
“UPT itu perwakilan kementerian. Aparat penegak hukum pun perlu menanyakan apa langkah, kajian, atau rekomendasi yang sudah diberikan UPT ESDM terkait pertambangan di Tasikmalaya. Apakah pernah ada upaya? Apakah pernah ada analisis? Ini harus dijelaskan,” ujar Hendra.
Ia menambahkan, para penambang justru ingin beroperasi secara legal dan sanggup memenuhi kewajiban biaya apabila mekanisme perizinan sudah jelas dan dapat diakses.
Baca Juga:Anggota DPRD Jabar Arip Rachman Salurkan 2.500 kWh Listrik Gratis untuk Warga Kurang Mampu di TasikmalayaAnggota DPRD Jabar Arip Rachman Lakukan Pengawasan Pemerintahan dengan Temu Warga: Pajak Kembali untuk Rakyat
Salah satu kendala utama yang hingga kini menghambat terbitnya IPR, menurut Hendra, adalah belum rampungnya dokumen acuan NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria) Pasca Tambang Dalam. Padahal dokumen itu merupakan persyaratan teknis penting dalam proses penerbitan IPR.
