TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID — Di Kecamatan Taraju, Kabupaten Tasikmalaya, ada ruas jalan sempit yang tak pernah tersentuh alat berat proyek pemerintah.
Namun jalan itu tetap diperbaiki.
Bukan oleh kontraktor, melainkan oleh tangan-tangan warga yang tak lagi menunggu janji.
Di Desa Kertaraharja dan Desa Purwarahayu, gotong royong bukan sekadar slogan sosial.
Baca Juga:Enam DPC PDI Perjuangan Dilantik Serentak di Kota Tasikmalaya, Garut Menyusul?Kasus Perundungan Remaja Perempuan di Kota Tasikmalaya, Empat Terduga Pelaku Resmi Jadi Tersangka
Ia menjelma menjadi cara bertahan hidup, sekaligus bentuk perlawanan sunyi terhadap ketidakpastian pembangunan.
Ketika Harapan pada Negara Kian Menipis
Sekitar satu dekade lebih lalu, sebuah riset di wilayah selatan Jawa Barat mengungkap fakta mengejutkan: sebagian besar masyarakat merasa kehadiran pemerintah tak banyak memengaruhi kualitas hidup mereka.
Temuan itu kini terasa nyata di pelosok Kabupaten Tasikmalaya.
Bukan karena warga menolak negara. Melainkan karena terlalu sering kecewa.
Jalan penghubung Kertaraharja–Purwarahayu sudah lama rusak. Saat hujan, kendaraan terjebak lumpur.
Saat kemarau, batu-batu tajam menjadi ancaman. Kondisi itu telah berlangsung bertahun-tahun, nyaris tanpa perubahan berarti.
Tahun 2010, ketika Jaringan Survei Independen melakukan riset di kawasan Jawa Barat selatan, termasuk Kabupaten Tasikmalaya, hasilnya sungguh mencengangkan.
Hampir 90 persen responden menyatakan bahwa mereka tidak membutuhkan pemerintah untuk memperbaiki kualitas hidup.
“Mereka merasa, dengan atau tanpa pemerintah, hidup mereka tetap sama saja. Bukan karena mereka kuat, melainkan karena sudah terbiasa bertahan sendiri,” ujar Harry Khoirul Anwar, Pemerhati Jaringan Survei Independen.
Kerja Bakti sebagai Jalan Keluar
Baca Juga:Kejar-kejaran di Jalan HZ Mustofa Kota Tasikmalaya, Polisi Amankan Remaja Bersenjata Kasus Perundungan Remaja di Tasikmalaya, Kapolres: Empat Terduga Pelaku Masih Didalami
Alih-alih terus menunggu, warga memilih bergerak. Iuran dikumpulkan. Tenaga dikerahkan. Waktu disisihkan.
Anak muda, orang tua, hingga ibu rumah tangga ambil peran sesuai kemampuan masing-masing.
Tak ada rapat resmi. Tak ada proposal tertulis. Tak ada spanduk proyek.
Yang ada hanya kesepakatan diam: jalan ini harus bisa dilalui, apa pun caranya.
Ketika sebagian warga ditanya mengapa tak lagi mengajukan keluhan ke pemerintah, jawabannya terdengar datar, nyaris tanpa emosi.
“Sudah terlalu sering, hasilnya sama saja.”
Pengalaman berhadapan dengan birokrasi yang panjang, janji yang tak kunjung ditepati, serta prioritas pembangunan yang selalu bergeser, membuat kepercayaan itu aus dengan sendirinya.
