TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Di tengah dinamika pendidikan anak berkebutuhan khusus, ada sosok yang memilih untuk melangkah mantap selama puluhan tahun yakni Dedi Supriatna (58). Bukan karena keterpaksaan, bukan pula karena ingin dikenal, melainkan karena ia percaya bahwa setiap anak mempunyai potensi yang bisa tumbuh dengan cara yang tepat.
Sejak 1995, Dedi mengajar di Yayasan Insan Sejahtera, membangun jembatan pembelajaran bagi anak-anak berkebutuhan khusus melalui metode yang ia pelajari dari SGPLB (Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa) program pendidikan yang mempersiapkan guru memahami kebutuhan tunanetra, tunarungu, tunagrahita, autisme, dan perilaku khusus. Baginya, ilmu itu bukan sekadar bekal profesi, tetapi modal untuk membuka pintu dunia bagi murid-muridnya.
Tidak menjadi ASN bukan halangan. Dedi memilih jalur pengabdian yang mungkin tak menawarkan kemapanan administratif, tetapi menghadirkan ruang lebih besar untuk membangun kedekatan dengan murid-muridnya.
Baca Juga:Sharp Perluas Aksi Pengurangan Sampah Plastik Lewat Peresmian Mesin RVM di Plaza IndonesiaJNE Gratiskan Ongkir Bantuan ke Aceh, Sumbar, Sumut dan Sekitarnya, Bergerak Bersama Peduli Bencana
Honor yang fluktuatif sejak awal kariernya tidak pernah mengubah arah langkah. Ia tetap tampil sebagai guru yang hadir penuh energi, siap mengajar, mendampingi, dan menenangkan murid-muridnya setiap hari. “Yang penting anak-anak bisa belajar dan tenang,” kisahnya.
Metode Dedi tidak berhenti pada ruang kelas. Ia kerap membawa anak-anak autisme ke terminal, stasiun, atau ruang-ruang publik agar mereka mengenal dunia luar secara bertahap. Ia percaya bahwa pembelajaran terbaik datang dari interaksi langsung.
Pernah ada seorang anak autisme yang sulit disentuh siapa pun. Namun bersama Dedi, ia bisa berkomunikasi, menerima arahan, dan perlahan belajar membuka diri. Hubungan seperti itu lahir bukan dari batasan formal, melainkan dari pendekatan personal yang dibangun dengan sabar dan konsisten.
Kepala SLB Insan Sejahtera, Tata Tajudin, membenarkan hal itu. “Beberapa anak itu hanya bisa dekat dengan Pak Dedi. Bahkan ada yang diasuh langsung di rumahnya karena cocoknya luar biasa,” ujarnya.
Bertahun-tahun mengantar-jemput murid, Dedi tak pernah meminta biaya bensin. Bukan karena tidak perlu, tetapi karena ia merasa hal itu bagian dari tanggung jawab moral sebagai guru. “Saya tidak pernah terima uang bensin. Demi keamanan anak-anak saja,” katanya.
