RADARTASIK.ID – Christophe Dugarry hanya semusim memperkuat AC Milan, namun perjalanan singkatnya di Italia menyimpan penyesalan besar.
Pada 1 Desember 1996, Rossoneri bertandang ke Stadion Garilli menghadapi Piacenza dalam kondisi tertekan.
Milan memulai musim 1996/1997 dengan buruk di bawah Óscar Tabárez, dan duel melawan Piacenza menjadi salah satu titik krusial dari musim penuh ketidakstabilan tersebut.
Baca Juga:Legenda Juventus Ungkap Rahasia Conte Kalahkan AS Roma: “Cuti 7 Hari”Striker Rp2,5 Triliun Cetak Gol, Slot Dinilai Matikan Karier Salah di Liverpool
Milan langsung tertinggal 0-2 pada babak pertama melalui gol Valoti dan Di Francesco.
Tabárez, yang berada di ujung tanduk, mencoba mengubah keadaan di paruh kedua.
Christophe Dugarry masuk menggantikan Locatelli, sementara Dejan Savicevic menggantikan Albertini untuk menambah kreativitas dan daya gedor.
Masuknya Dugarry memberi dampak instan. Penyerang Prancis itu memperlihatkan kemampuan terbaiknya: sentuhan halus, pergerakan cerdas, dan penyelesaian yang rapi.
Ia mencetak dua gol untuk menyamakan kedudukan menjadi 2-2, yang sekaligus menjadi dua gol pertamanya bagi AC Milan.
Pada momen itu, seolah muncul secercah harapan bahwa Rossoneri mampu bangkit dari keterpurukan.
Namun semuanya buyar menjelang laga berakhir. Pasquale Luiso mencetak gol salto spektakuler yang menutup pertandingan dengan kemenangan 3-2 untuk Piacenza.
Baca Juga:Impian Presiden Inter Beppe Marotta sebelum Pensiun: Gratiskan Sekolah Sepak Bola di ItaliaDitumbangkan Napoli 1-0 di Olimpico, Gasperini Bantah AS Roma Rentan Hadapi Serangan Balik
Kekalahan itu menjadi titik akhir era Tabárez. Sehari setelah laga, manajemen Milan secara resmi memecat pelatih Uruguay tersebut dan memanggil kembali Arrigo Sacchi untuk menukangi tim.
Dugarry sendiri baru bergabung dengan Milan pada musim panas 1996 dari Bordeaux dengan mahar sekitar €4 juta, nominal yang cukup besar pada era sebelum transfer mulai meledak di awal 2000-an.
Ia datang sebagai bagian dari generasi emas Prancis yang mulai bersinar di Eropa.
Musim sebelumnya, ia bersama Zidane dan Lizarazu membawa Bordeaux ke final Piala UEFA, dan performanya menarik perhatian klub-klub besar, termasuk Milan.
Tapi kompetisi internal di Rossoneri sangat ketat. Lini depan diisi nama-nama besar: Roberto Baggio, George Weah, Dejan Savicevic, hingga Marco Simone.
Meski demikian, Dugarry mengungkapkan bahwa Sacchi—yang menggantikan Tabárez—tetap memberinya kepercayaan dan menit bermain.
Karena itu, penyesalannya semakin besar ketika ia memutuskan pergi hanya setelah satu musim.
