Catatan golnya berbicara lantang. Sejauh ini, ia telah mencetak 163 gol untuk Inter, melewati legenda Sandro Mazzola (162). Di atasnya kini tersisa Boninsegna (173), Altobelli (209), dan Meazza (284).
Kritik yang menyebut Lautaro hanya tajam melawan tim kecil juga dibantah Giudici.
Pisa memang menjadi korban ke-29-nya di Serie A, namun rekornya di laga besar juga impresif: sembilan gol ke gawang AC Milan, lima ke Napoli, dan empat ke Juventus.
Baca Juga:Penyesalan Christophe Dugarry Tinggalkan AC Milan: “Seharusnya Saya Tidak Pernah Pergi ke Barcelona”Legenda Juventus Ungkap Rahasia Conte Kalahkan AS Roma: “Cuti 7 Hari”
Di Liga Champions, ia pernah menaklukkan gawang Real Madrid, Bayern München, hingga Barcelona.
Artinya, kualitasnya tidak ditentukan lawan—Lautaro mencetak gol di mana saja dan kapan saja.
Dengan kemenangan di Pisa, Inter meraih tiga poin krusial yang menjaga jarak dengan Milan dan Napoli tetap ketat.
Di kompetisi yang semakin ketat, setiap gol menjadi vital, dan itu kembali membawa Giudici pada simpulan utamanya: solusi Inter ada pada Lautaro, bukan di bangku cadangan.
Giudici juga menyoroti dinamika menarik antara pelatih dan kapten.
Sebelum derby melawan Milan, Chivu mengaku bersalah karena tidak mengungkapkan bahwa Lautaro sempat demam akibat vaksin jelang laga timnas Argentina di Angola.
Setelah pertandingan tersebut, Chivu terlihat memeluk sang striker di bangku cadangan, sebuah gestur yang jarang terlihat dari seorang pelatih yang baru memulai karier kepelatihannya kepada pemain bintangnya.
Chivu bahkan menyalahkan dirinya sendiri atas pergantian pemain yang dianggap terburu-buru di laga sebelumnya.
Baca Juga:Striker Rp2,5 Triliun Cetak Gol, Slot Dinilai Matikan Karier Salah di LiverpoolImpian Presiden Inter Beppe Marotta sebelum Pensiun: Gratiskan Sekolah Sepak Bola di Italia
Gestur itu, kata Giudici, lebih mirip seorang pelatih yang meminta maaf kepada legenda klub ketimbang hubungan tradisional antara pelatih–pemain.
Namun terlepas dari dinamika tersebut, satu hal tetap jelas: Lautaro bukan masalah untuk Inter—ia adalah solusinya.
