TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Rencana UPTD Parkir Dinas Perhubungan Kota Tasikmalaya untuk menangani parkir ilegal tidak boleh asal. Jangan sampai jukir liar diakomodir dan dilegalisasi, namun tetap menempati area ilegal.
Dengan dasar Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), Dinas Perhubungan Kota Tasikmalaya mengungkap tarif parkir di Jalan Utama Tertentu (JUT) dengan jumlah 13 ruas jalan dan Badan Jalan Utama Tertentu (BJUT) sebanyak 31 ruas jalan. Total ruas jalan yang ditentukan jumlahnya menjadi 44 saja.
Bicara parkir liar, persoalannya bukan hanya jukir ilegal yang tidak mengantongi karcis dari Dishub saja. Realitas di lapangan, penarikan uang parkir juga terjadi di luar JUT dan BJUT, di antaranya yakni jalan Alun-Alun, Jalan Panyerutan, Jalan Pasar Rel dan lainnya.
Baca Juga:RS Islam Hj Siti Muniroh Kota Tasikmalaya Rayakan Milad ke-31Sidang Keempat Kasus Endang Juta: Saksi Sebut Tumpukan Pasir Berada di Luar Lahan Berizin
Maka dari itu, rencana Dishub untuk mengakomodir jukir liar harus mempertimbangkan legalitas ruas jalannya. Jangan sampai jukir liar dilegalisasi dan melakukan penarikan retribusi di ruas jalan yang ilegal.
Sekretaris Komisi II DPRD Kota Tasikmalaya, Angga Yogaswara menilai program yang dilakukan Dishub tidak menyentuh akar permasalahan parkir di kota resik. Menurutnya, fokus utama seharusnya adalah penertiban jukir liar baik yang beroperasi baik di kawasan resmi atau di luar area yang telah ditentukan.
“Ya gimana, tarif ingin tertib, sementara jukir liar tidak ditertibkan. Faktanya di lapangan tetap berjalan,” tuturnya kepada Radar, Selasa (25/11/2025).
Rencana melegalisasi jukir liar pun menurutnya rencana merupakan rencana yang bisa salah kaprah. Jika jukir mau berkompromi dan dilegalisasi oleh Dishub, perlu ada kejelasan penempatan mereka di lapangan.
“Apakah mereka akan beroperasi di ruas jalan yang sudah diatur oleh Dishub, atau di titik-titik ‘kekuasaan’ mereka selama ini? Ini harusnya yang dibereskan dulu. Percuma atur karcis, kalau jukir liar masih jadi ‘pawang parkir’ di mana-mana,” tegasnya.
Yoga juga mengatakan bahwa publik pun mempertanyakan perbedaan penerapan parkir di wilayah Dadaha. Karena pada dasarnya, masyarakat melihat Dadaha sebagai ruang publik tanpa harus ada pembeda dalam urusan parkir.
“Kemudian di Dadaha, implementasi seperti apa. Itu banyak dipertanyakan publik. Apa karena teritorial khusus sehingga dibedakan. Sementara publik tahunya semua sarana umum milik pemerintah,” kata politisi PKB itu.
