TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Di Sekolah Rakyat, kenyataan sehari-hari yang ditemui para guru jauh dari gambaran umum pendidikan formal.
Banyak anak dari keluarga desil 1 dan 2—keluarga miskin yang sebelumnya putus sekolah—datang dengan kemampuan dasar yang tertinggal jauh.
Bahkan ada yang sudah berusia setara SMP tetapi belum bisa membaca, menulis, atau berhitung.
Baca Juga:Pemkot Tasikmalaya Lagi Bokek, Berharap Langit Cerah Sampai Akhir Tahun!Jelang Peringatan Hari Guru 2025, Ketua PGRI Kota Tasikmalaya: Ajang Refleksi Para Pendidik!
Di sinilah tantangan terbesar Sekolah Rakyat: memastikan anak-anak yang tersisih dari sistem pendidikan itu kembali bangkit dan mampu mengejar ketertinggalan.
Penyelenggaraan Sekolah Rakyat bukan sekadar menyediakan ruang kelas alternatif.
Agar program ini berkelanjutan, para guru harus menjalankan peran ganda: sebagai pendidik sekaligus pendamping sosial.
Tidak cukup mengandalkan keterampilan pedagogik; mereka wajib memiliki kesabaran, empati, dan ketangguhan yang kuat untuk membimbing siswa dengan karakter dan motivasi belajar yang masih rapuh.
Para murid di sini diterima tanpa tes akademik. Satu-satunya syarat adalah kemauan mereka untuk belajar kembali. Namun motivasi itu tidak selalu stabil.
Di keluarga, mereka menyatakan siap belajar. Saat screening dan survei PKH, orang tua ikut menandatangani surat kesediaan sekolah. Tetapi, begitu memasuki rutinitas kelas, proses adaptasi kerap menjadi ujian tersendiri.
Salah satu tokoh yang menjalani tugas ini dengan penuh kesadaran adalah Heri Haerudin. Setelah 21 tahun berkarier sebagai guru sekolah negeri dengan kenyamanan yang relatif stabil, ia memutuskan meninggalkan zona aman untuk memimpin Sekolah Rakyat Terintegrasi 41 Kota Tasikmalaya.
Baginya, pendidikan anak-anak putus sekolah adalah panggilan sosial yang tidak bisa diabaikan.
Baca Juga:Gerak Cepat Bupati Tersendat Mesin Birokrasi, Diaspora Minta PembenahanDesa Tak Perlu Lagi Urus Infrastruktur, Pembangunan Jalan Desa di Jabar Bakal Diambil Alih Provinsi
“Setelah berjalan lebih dari satu bulan, banyak anak yang saya temukan bahkan belum bisa baca tulis, termasuk yang setara SMP,” kata Heri saat diwawancara usai menyambut kunjungan Kementrian Sosial pada Jumat (21/11).
Situasi itu membuat ia dan rekan-rekan guru harus bekerja dari titik paling dasar, membangun kembali kepercayaan diri, keinginan belajar, dan kedisiplinan anak-anak yang sudah lama jauh dari suasana sekolah.
Untuk itu, Sekolah Rakyat menerapkan pola pembinaan yang berbeda.
Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) berlangsung dua minggu penuh, jauh lebih panjang dari sekolah umum yang hanya tiga atau empat hari.
