TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Forum gempungan seniman Kota Tasikmalaya di Hotel City menjadi penanda babak baru dunia seni-budaya Tasikmalaya pada Sabtu, 22 November 2025.
Dalam forum itu, Tatang Suprihatna Sumpena—yang dikenal luas sebagai Tatang Pahat—terpilih sebagai Ketua Dewan Kesenian dan Kebudayaan (DKK) Kota Tasikmalaya periode 2025–2030.
Bersamaan dengan mandat baru ini, forum juga menyepakati perubahan nomenklatur dari Dewan Kesenian Kota Tasikmalaya (DKKT) menjadi Dewan Kesenian dan Kebudayaan (DKK) Kota Tasikmalaya, memperluas ruang kerja lembaga ini dari sekadar kesenian menuju ekosistem kebudayaan yang lebih utuh.
Baca Juga:Ketika Anggaran Kota Tasikmalaya 2026 Menyusut, Bapelitbangda Menjawab dengan Keheningan!Uang Nasabah Raib usai Terjebak Modus Ganjal ATM di Pusat Kota Tasikmalaya
Tatang datang dengan visi yang lapang, namun dia merumuskannya dengan komitmen personal yang sederhana: mewakafkan diri untuk memajukan kebudayaan kota tempat ia tumbuh.
”Saya punya tanggung jawab moral bagaimana memajukan kebudayaan, kesenian, kebudayaan Kota Tasikmalaya,” ujarnya.
Disiplin ilmunya yang lama berkaitan dengan pemetaan seni dan budaya membuat ia paham lanskap Tasikmalaya baik potensi maupun kesenjangannya.
Dalam pemaparannya, Tatang mengulas satu realitas yang sejak lama menjadi paradoks Dewan Kesenian Kota Tasikmalaya: brand-nya kuat di luar, tetapi belum mencengkeram kota sendiri.
Berbagai penghargaan budaya dan partisipasi dalam event nasional membuat nama Dewan Kesenian Kota Tasikmalaya dikenal di banyak daerah.
Namun di Kota Tasikmalaya, masih banyak komunitas, seniman rumahan, hingga kelompok kreatif yang belum tersentuh.
”Bagaimana caranya DKKT ini berdiri di tanah dan terbang di atas,” katanya, merumuskan misi besarnya.
Baca Juga:Bantu Perbaikan Rumah Tidak Layak Huni, Wali Kota Tasikmalaya Dorong Kolaborasi Lembaga FilantropiJumlah Siswa Sekolah Rakyat di Kota Tasikmalaya Kian Menyusut
Ia juga mengingatkan bahwa kerja kebudayaan tidak dapat dibangun secara serampangan.
Ia perlu keberlanjutan, kesinambungan, dan penguatan identitas.
Tatang menyinggung sejarah lampau—ketika wilayah Sukapura menjadi pusat ekonomi dan budaya—sebagai fondasi yang perlu dibuka kembali, dikemas ulang, dan diterjemahkan untuk generasi hari ini.
Di tengah itu semua, Tatang menyoroti pengalaman pahit yang pernah dialami pelaku seni: menggadaikan BPKB hingga menjual mobil demi menyelenggarakan peristiwa budaya.
Menurutnya, situasi itu menegaskan pentingnya manajemen program dan pertanggungjawaban anggaran yang lebih rapi, hingga perhatian dari pemerintah.
