Beberapa waktu lalu, Rapat Paripurna ke-6 DPRD Kota Tasikmalaya yang seharusnya menjadi ajang pengesahan Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) Tahun 2026 mendadak berubah menjadi panggung sunyi.
Kursi-kursi yang biasanya penuh dengan suara, debat, dan ketukan meja terlihat sepi tak bertuan. Para wakil rakyat yang ditunggu-tunggu tak kunjung muncul, seolah hari itu mereka kompak mengambil cuti mendadak.
Namun publik paham: ini bukan ketidakhadiran biasa. Ini pesan politik. Setiap kursi kosong memiliki cerita yang jauh lebih keras daripada seribu pernyataan pers.
Baca Juga:Syarat-Syarat Pengajuan Bantuan Rumah Tidak Layak Huni di Kota TasikmalayaMembaca Tangga Kepangkatan Polisi dan Padanannya di Dunia Kerja: Agar Tak Salah Menilai “Level”
Ketika palu sidang siap diangkat, yang hadir hanyalah sebagian kecil anggota. Wajah-wajah itu tampak canggung—antara ingin menjalankan agenda negara, namun tak bisa mengabaikan fakta bahwa mayoritas koleganya memilih pergi entah ke mana.
Suasana rapat yang biasanya hangat dan penuh intrik justru terasa dingin. Ruang paripurna seperti kehilangan denyut. Tidak quorum, tidak progres, dan tidak ada jawaban yang jelas bagi publik.
Seorang pegawai sekretariat berkomentar pelan, “Biasanya ribut itu normal. Tapi kalau tiba-tiba sepi begini, pasti ada yang salah di dalam.” sahutnya kepada Radar.
Isu pecahnya hubungan antara pimpinan dan sejumlah anggota dewan sebenarnya bukan cerita baru. Selama ini, semuanya masih bisa ditambal dengan foto formal, kalimat seragam dan retorika kekompakan.
Namun paripurna yang kosong ini seperti tirai yang tersibak paksa. Di belakang layar, komunikasi disebut semakin menegang.
Beberapa anggota mengeluhkan gaya kepemimpinan pimpinan DPRD yang dianggap tidak terbuka.
Pimpinan merasa sebagian anggota membangun kelompok sendiri. Perbedaan pendapat yang dulu hanya panas di ruang fraksi kini menjalar menjadi dingin di ruang paripurna.
Baca Juga:Butuh Kerja Nyata Bukan Pencitraan Kamera, Empat Kadis Baru di Kota Tasikmalaya Dipelototi PublikAdu Kuat Jejaring Pusat: Benarkah Sekda Tasikmalaya M Zen Akan Diganti?
Rumor yang paling kencang berhembus: hal tersebut diduga akibat pembagian pokok-pokok pikiran (pokir) yang jomplang.
Pokir yang idealnya menjadi jembatan antara aspirasi rakyat dan program pemerintah daerah berubah menjadi biang keretakan.
Ada yang merasa sudah kebagian angka yang cukup, ada yang merasa jomplang, dan ada pula yang merasa seperti hanya mendapat “sisa-sisa meja makan politik”.
Ketidakmerataan ini memunculkan rasa tidak puas. Rasa tidak puas berubah jadi kekecewaan. Dan kekecewaan berubah jadi aksi diam: tidak hadir dalam paripurna.
