TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID–Surat PGRI Kecamatan Bungursari jelas, distempel, dan rapi. Tapi isi dan dampaknya membuat warga bertanya-tanya: Apakah untuk memperingati profesi mulia guru, anak didik harus dikorbankan?
Kegiatan gerak jalan santai itu memang positif. Tapi masyarakat menilai waktunya justru kontraproduktif. Beberapa orang tua merasa keputusan ini menunjukkan adanya jurang prioritas: perayaan lebih didahulukan dibanding pembelajaran.
“Kalau guru punya kegiatan, oke. Tapi kenapa selalu jam belajar yang dikorbankan?” keluh seorang ayah murid. “Kalau murid bolos sekali saja, langsung dipanggil BP. Tapi kalau sekolah yang bolong? Ya lewat.”
Baca Juga:Pokir Jomplang, Paripurna “Hilang”: Pecah Internal DPRD Kota Tasikmalaya Makin TerangPolitik Bambu Apus: Bayang-bayang Kekuasaan yang Mengulur ke Semua Parpol di Tasikmalaya!
Para guru sendiri sebagian mengaku hanya mengikuti instruksi organisasi. Mereka tidak ingin dipandang sebagai sosok yang “mengabaikan siswa”, tapi suara masyarakat sudah terlanjur bising.
“Peringatan Hari Guru itu momentum, tapi dampaknya harus dipikirkan,” kata seorang guru yang tak enak hati melihat muridnya kembali belajar daring tanpa persiapan.
Guru memang manusia. Tapi sistem yang membiarkan murid belajar seperti penumpang cadangan—itu yang menjadi masalah.
Ironisnya, perayaan Hari Guru di Bungursari justru menghadirkan pelajaran—bukan bagi murid, tapi bagi sistem pendidikan itu sendiri.
Bahwa organisasi pendidikan perlu lebih peka. Peringatan profesi mulia tidak boleh menyingkirkan kepentingan utama: pendidikan anak dan koordinasi bukan sekadar surat tembusan.
Idealnya merayakan dedikasi guru seharusnya tidak membuat siswa kehilangan guru. Jika setiap kegiatan guru kembali dilaksanakan di jam sekolah, bukan tidak mungkin nanti ada usulan baru:
“Untuk efisiensi, sekolah cukup buka Senin, sisanya sambil daring. Kan fleksibel.” ungkapnya seorang wali murid.(red)
