Di satu sisi pengurus punya nilai plus dalam hal pengalaman pengelola organisasi DKKT dan bisa lebih memahami peta. Namun kandidat non pengurus bisa lebih diharapkan karena belum punya dosa jabatan di kepengurusan. “Jadi pada dasarnya sama-sama punya peluang,” tuturnya.
Bode yang telah memimpin DKKT selama dua periode atau sepuluh tahun, mengakui bahwa perjalanan kepemimpinan di lembaga kesenian daerah bukanlah hal ringan. Ia memandang, setiap calon yang maju tentu sudah menilai kapasitas dan kepeduliannya sendiri terhadap keberlangsungan organisasi.
“Kalau saya sih memandang dengan mereka mencalonkan, berarti sudah bisa mengukur kapasitas mereka. Ada kepedulian menjalankan roda organisasi ini. Ada kelebihan masing-masing,” ujarnya kepada Radar, Kamis (13/11).
Baca Juga:Sekda Tanpa Daerah: M Zen dan Kekuasaan yang Menguap di Kabupaten Tasikmalaya!Digaransi Kerja Kerja ke Jepang, Puluhan Peserta Daikokuten School Kota Tasikmalaya Ikuti Pelatihan
Ia juga menekankan, siapapun yang terpilih nantinya akan menghadapi tantangan tersendiri. Kepengurusan tidak pernah sempurna, tetapi selalu bisa diperbaiki. “Harus jeli sekarang adalah teman-teman seniman dan budayawan yang akan memutuskan pilihannya, ditimbang dan diilo. Siapapun nanti yang menang, tentu kepengurusan saya ini tidak sempurna amat, tentu ada perbaikan dan carikan poin,” lanjutnya.
Selama dua periode menjabat, Bode mencatat sejumlah capaian penting, salah satunya rencana pembangunan panggung terbuka di belakang Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya. Upaya itu sudah dimulai sejak 2020, ketika dokumen DED (Detail Engineering Design) berhasil disusun. Ia berharap ketua baru kelak dapat melanjutkan proses fisik pembangunan tersebut.
“Asas mendirikan bangunan itu sudah ada. Periode kedua ini hampir semuanya sudah terlaksana program, tinggal pembangunan panggung di belakang gedung kesenian itu secara fisik. Rencana akan bernuansa ramah lingkungan,” katanya.
Bode menambahkan, konsep panggung terbuka itu dirancang berkapasitas sekitar 500 penonton, dengan tujuan agar kegiatan kesenian lebih terbuka untuk publik. “Siapapun nanti yang akan pakai boleh,” ujarnya.
Selain infrastruktur, Bode juga menyoroti pentingnya pengembangan jenis kesenian khas Tasikmalaya yang dapat menjadi identitas kota. Menurutnya, loyalitas seniman lokal sudah kuat, namun perlu dorongan lebih untuk menciptakan karya yang mencerminkan karakter daerah.
“Kita belum punya yang benar-benar khas Tasik. Bagaimana kita meng-create, mulai dari filosofi kemudian meminta supervisi dari para ahli supaya diakui sebagai khas Tasikmalaya. Supaya setiap kegiatan kita punya ciri tersendiri,” jelasnya.
