Publik pun mulai mempertanyakan: apakah diamnya DPRD menandakan persetujuan, atau justru ketidakberdayaan di hadapan eksekutif?
“Rapat-rapat DPRD sibuk membahas anggaran, tapi soal rotasi pejabat — yang menyangkut nasib birokrasi dan pelayanan publik sepi komentar,” ujarnya.
Padahal efek domino dari rotasi mendadak mulai terasa. Beberapa pejabat baru masih beradaptasi, sementara pekerjaan administratif menumpuk. Di sejumlah dinas, rotasi dianggap lebih politis ketimbang fungsional.
Baca Juga:H Amir Mahpud: Bisnis dan Politik Harus Seimbang, Tujuannya Kebangkitan Ekonomi!Jabatan Abadi: Sang Pelaksana Segala Tugas di Kota Tasikmalaya!
Sementara itu, masyarakat tetap menunggu hasil nyata dari perubahan itu — apakah pelayanan publik menjadi lebih baik, atau justru semakin lamban karena transisi internal yang tak mulus.
Di tengah kritik publik, harapan masih tersisa. Banyak pihak mendesak agar Pemerintah Kota Tasikmalaya dan DPRD membuka mekanisme rotasi secara transparan.
“Publik menanti keberanian lembaga legislatif untuk bersuara, dan integritas pejabat baru untuk membuktikan bahwa promosi mereka bukan sekadar hasil kompromi politik,” tandasnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi I DPRD Kota Tasikmalaya Dodo Rosada mengaku pihaknya masih menunggu pembuktian sistem baru tersebut. “Kita lihat saja beberapa bulan ke depan. Apakah hasil dari manajemen talenta benar-benar efektif. Apalagi, untuk eselon III dan IV saya dengar belum sepenuhnya menerapkan merit system secara menyeluruh,” ujarnya.
Dodo menambahkan, transisi menuju sistem yang benar-benar objektif memang tidak bisa instan. “Butuh waktu dan komitmen agar seleksi tidak lagi berbau pesanan, tapi murni berdasar kinerja,” tutur Ketua Fraksi PDIP ini.
Ke depan, para pejabat yang baru dilantik akan menjadi wajah pertama dalam pembuktian sistem ini, apakah benar meritokrasi berjalan, atau sekadar nama baru untuk mekanisme lama yang dikemas ulang.(red/igi)
