TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Di balik meja-meja rapat yang tertata rapi, di balik senyum formal dan tanda tangan resmi, tersimpan sesuatu yang tak diucapkan.
Sebuah retakan halus dalam tubuh birokrasi, saat keputusan datang tanpa pernah dibicarakan.
Beberapa hari lalu, surat pemindahan pegawai kembali turun.
Tak ada rapat, tak ada diskusi.
Sejumlah kepala dinas hanya tahu dari surat resmi bukan dari percakapan.
“Tau-tau sudah ada suratnya,” kata seorang pejabat dengan senyum getir.
Keputusan yang datang sepihak bukan sekadar soal administrasi.
Ia menggerus rasa percaya, membuat suasana kerja menjadi rapuh.
Baca Juga:Dana Transfer Dipangkas, TPP ASN Priangan Timur Terancam PemotonganSoal Pinjaman Pemkab Tasik Rp 230 M, Hj Nurhayati Effendi: Hati-Hati Terpeleset!
Tak ada yang marah, tapi juga tak ada yang benar-benar tenang.
Di ruang-ruang kerja, yang terdengar hanyalah suara yang tertahan rasa takut dan cemas menunggu giliran.
Menurutnya, pemindahan pegawai tanpa koordinasi tidak hanya menimbulkan kebingungan teknis, tetapi juga menciptakan jarak psikologis antarpejabat.
“Kami ini satu tim, tapi kalau keputusan datang tanpa komunikasi, ya rasa kebersamaan itu terkikis,” tambahnya.
Fenomena ini disebut-sebut semakin sering terjadi sejak kebijakan manajemen talenta dan rotasi promosi rutin diterapkan. Namun, dalam prakteknya, idealisme “menempatkan orang di tempat yang tepat” sering berubah menjadi keputusan sepihak tanpa mempertimbangkan masukan unit kerja terkait.
Seorang pejabat eselon III menuturkan, dalam banyak kasus, pegawai yang baru saja beradaptasi dengan bidangnya tiba-tiba harus pindah.
“Dampaknya bukan hanya pada individu, tapi pada ritme kerja. Kita seperti harus mulai dari nol lagi,” katanya.
Baca Juga:Warga Sinagar Kabupaten Tasikmalaya Gelar Doa Bersama untuk Endang JutaUsai Dilimpahkan ke Kejari Bandung, Bos Pasir Galunggung Kini Dititip di Lapas Kebonwaru
Akibatnya, kondusivitas internal terganggu. Beberapa pegawai bekerja dengan rasa waswas, takut giliran berikutnya tanpa tahu alasan jelas.
“Hubungan antarpegawai yang sebelumnya cair mulai mengeras, berganti dengan bisik-bisik dan dugaan politik jabatan,” paparnya.
Pemerhati kebijakan publik Tasikmalaya, Asep M Tamam menilai prinsip transparansi dan partisipasi dalam mutasi, promosi atau rotasi adalah hal mendasar dalam tata kelola birokrasi modern.
“Kepala dinas harus dilibatkan minimal dalam diskusi awal, karena mereka yang paling tahu kinerja dan potensi anak buahnya. Tanpa itu, keputusan bisa kontraproduktif,” ujarnya.
