“KIS memang ada, tapi belum pernah dipakai. Kami juga enggak tahu harus ke mana,” lanjut Una.
Selama hidupnya, Usep dirawat dengan peralatan seadanya. Tak ada kursi roda, tak ada alat bantu kesehatan.
Bantuan sosial pun tak pernah datang secara rutin. Hanya sekali, mendapat bantuan sembako dari pemerintah, itupun sudah lama berlalu.
Baca Juga:Masih Tak Percaya Bos Pasir Galunggung Ditahan, Netizen: Maenyak Loba Duit Dipenjara?Sindiran Gubernur Jabar untuk Pangandaran: Wajah Bupati Glowing Tapi Wilayahnya Banyak Sampah Berserakan
“Dari dulu kami sudah coba lapor ke kelurahan, ke dinas juga, tapi belum ada tindak lanjut. Kadang kan minimal kursi roda atau sembak. Kata orang dulu mah itu penyakit bawaan. Dari usia tiga bulan sampai sekarang 40 tahun, ya begitulah keadaannya,” ujar Asep, Ketua RW 06, Kampung Golempang.
Meski terbatas, keluarga mengenang Usep sebagai sosok yang masih punya semangat hidup. Ia kerap mendengarkan radio sebelum tidur, bahkan sering ikut berpuasa.
“Kalau malam dengerin radio dulu. Tidur jam 10, bangun subuh. Kalau puasa sering tamat,” kenang Una, matanya berkaca-kaca.
Tiga hari sebelum meninggal, Usep tak lagi mau makan. Hanya berbaring, sesekali meneguk air. Kini, rumah kayu di Golempang itu terasa lebih hening dari biasanya.
Di ranjang tempat Usep berbaring selama empat dekade, tinggal lipatan selimut dan radio kecil yang masih menyala.
Kisah hidup Usep adalah potret senyap dari banyak keluarga yang berjuang sendirian di tengah keterbatasan. Ia tak pernah menuntut apa pun, hanya hidup apa adanya di dunia yang jarang menoleh. Hingga akhirnya, pada Rabu pagi yang basah, perjuangannya berakhir dalam sunyi. (Ayu Sabrina)
