Cardinale juga menyinggung persoalan struktural sepak bola Eropa, terutama di Italia. Ia menilai banyak klub Serie A bergantung pada suntikan dana jangka pendek tanpa membangun sistem keuangan yang berkelanjutan.
“Kita harus mengatur diri sendiri,” tegasnya.
“Seluruh ekosistem sepak bola perlu berubah. Tim kecil juga harus bisa berkembang, bukan hanya tim besar. Kita harus mengubah paradigma ekonomi agar setiap klub bisa membiayai dirinya sendiri. Itulah kuncinya,” sambungnya.
Cardinale juga menyebut bahwa ketimpangan antara Liga Premier dan liga lain di Eropa semakin merusak keseimbangan kompetisi.
Baca Juga:Jurnalis Italia Anggap Juventus Ikuti Jejak Moratti di Inter Milan: Hobi Pecat PelatihLa Gazzetta: Inter Marah Conte Sindir Marotta, Anggap Pelatih Napoli Tak Lagi Hormati Mantan Klubnya
“Persaingan sesungguhnya bukan melawan 19 tim Serie A lainnya, tapi melawan Liga Premier. Mereka seperti lubang hitam ekonomi yang menguras kekayaan sepak bola Eropa,” katanya.
Cardinale kemudian menyoroti bagaimana pendapatan TV di Inggris bisa empat kali lipat lebih besar dari Italia.
Menurutnya, itu membuat klub-klub Serie A sulit bersaing secara global, meski kualitas kompetisi di lapangan sebenarnya sangat tinggi.
“Di Serie A, tim terbawah bisa mengalahkan tim teratas kapan saja. Ini liga paling kompetitif, tapi kami tidak dibayar untuk itu,” tuturnya.
“Tidak ada kesepakatan besar untuk hak siar internasional. Di Amerika Serikat, tak ada yang mau menonton Cagliari versus Lecce — padahal justru itu esensi dari olahraga: persaingan dan kejutan. Sayangnya, itu tidak dihargai secara finansial,” pungkasnya.
Cardinale percaya Milan bisa menjadi contoh baru klub yang sehat secara finansial tapi tetap kompetitif di level Eropa.
Ia nampaknya ingin mengikuti jejak Berlusconi, tapi dengan cara yang tidak cocok dengan penggemar kerena membuat Milan menjual pemain andalan untuk mendatangkan pemain baru.