Ia menilai banyak kasus kekerasan bermula dari rumah—dari hubungan yang renggang, dari komunikasi yang hilang.
Selain faktor budaya dan keluarga, perkembangan teknologi juga turut memberi pengaruh. Pola interaksi yang bergeser ke ruang digital membuat anak dan remaja lebih rentan terpapar kekerasan daring, termasuk pelecehan dan eksploitasi.
Ipa tak menutupi kekecewaannya terhadap lambannya respons berbagai pihak.
“Saya kecewa dengan tokoh publik, pemerintah, juga organisasi di Tasikmalaya. Kenapa bisa seolah slow saja, padahal angka kekerasan naik terus. Ini bahaya besar,” katanya tegas.
Baca Juga:HUT Presiden Prabowo dan Kota Tasik Jadi Momentum Pengingat Perjuangan Gerindra Jawa Barat!Minta Dukungan Pembinaan, Sekolah Sepak Bola di Kota Tasikmalaya ini Silaturahmi ke DPRD
Ia menegaskan, pencegahan harus dimulai sejak sekarang, bukan menunggu korban berikutnya.
“Kalau semua pihak kompak, berkolaborasi, dan melakukan sosialisasi masif, masyarakat akan lebih sadar dan hati-hati. Dan insyaallah, korban bisa ditekan,” tutupnya.
Refleksi di usia 24 tahun Kota Tasikmalaya ini menjadi pengingat: kemajuan daerah tak hanya diukur dari infrastruktur dan ekonomi, tetapi juga dari seberapa aman perempuan dan anak hidup di dalamnya. (Ayu Sabrina)