BANDUNG, RADARTASIK.ID – Gerakan Rereongan Sapoe 1.000 atau Poe Ibu masih menjadi topik hangat di tengah masyarakat Jawa Barat.
Program yang digagas Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, untuk menumbuhkan semangat gotong royong ini menuai beragam reaksi, terutama di media sosial.
Sayangnya, perdebatan publik lebih banyak diwarnai dengan saling sindir dan makian antar-netizen ketimbang membahas substansi programnya.
Baca Juga:Sering Tak Disadari, Blindspot Jadi Pembunuh Senyap di Jalan RayaSuzuki Pamer Vision e-Sky, Kei Car Listrik dengan Jadak Tempuh 270 Km
Tanggapan juga datang dari kalangan legislatif, salah satunya dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPRD Jawa Barat.
Ketua Fraksi PKS Jawa Barat, KH Tetep Abdulatip, menilai bahwa semangat rereongan merupakan nilai luhur yang patut dijaga karena sejalan dengan ajaran Islam dan budaya Sunda yang menekankan kebersamaan serta kepedulian sosial.
Namun, Tetep mengingatkan, nilai gotong royong sejati hanya bisa tumbuh jika dilandasi keikhlasan, bukan karena paksaan.
Ia menegaskan, apabila program Poe Ibu berubah menjadi kewajiban administratif bagi ASN, siswa, atau masyarakat dengan tekanan birokratis, maka makna keikhlasan itu akan hilang.
”Rereongan sejati hanya akan hidup jika lahir dari keikhlasan, bukan dari paksaan,” ungkap Tetep kepada Radartasik.id.
Lebih lanjut, PKS memberikan beberapa catatan korektif terhadap pelaksanaan program tersebut.
Pertama, gerakan rereongan harus bersifat sukarela, bukan kewajiban yang dipaksakan.
Kedua, transparansi dan akuntabilitas perlu dijunjung tinggi.
Pemerintah, kata Tetep, harus menjelaskan secara terbuka mekanisme pengumpulan, penyaluran, serta pemanfaatan dana rereongan agar setiap rupiah yang dihimpun benar-benar memiliki arah manfaat yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.
Catatan ketiga, fokus sasaran gerakan harus konkret dan berkelanjutan.
Baca Juga:SNG Cargo Jadi Mitra Strategis dalam Distribusi Smart Board ke Sekolah-Sekolah IndonesiaIkatan Motor Honda Garut Siap Ambil Alih Panggung Honda Bikers Day 2025
Program rereongan sebaiknya diarahkan untuk membantu kelompok rentan, memberdayakan perempuan, dan memperkuat ekonomi keluarga miskin, bukan sekadar menjadi kegiatan seremoni tahunan.
Selain itu, PKS menekankan pentingnya regulasi dan koordinasi lintas sektor agar pelaksanaan program tidak tumpang tindih dengan program pemerintah lain.
Tanpa tata kelola yang kuat, inisiatif sosial seperti Poe Ibu justru berpotensi menimbulkan salah tafsir di lapangan atau bahkan membuka peluang penyalahgunaan.
Menurut Tetep, rereongan adalah simbol kebersamaan masyarakat Sunda. Jangan sampai nilai luhur itu tereduksi hanya karena pendekatan birokratis. (Handri S Budiman)