Dampaknya tak langsung terlihat, tetapi terasa. Puskesmas tetap buka, namun antrean pasien memanjang. Jalan tetap ada, tetapi cepat berlubang kembali. Sekolah tetap berdiri, namun alat peraga rusak dibiarkan.
Arah Akuntabilitas Bergeser
Perubahan jalur anggaran juga ikut menggeser garis pertanggungjawaban. Ketika proyek-proyek kini dipegang langsung kementerian atau lembaga pusat, akuntabilitas menjadi vertikal. Pemerintah daerah melapor ke pusat, bukan ke warganya. Di sisi lain, masyarakat kehilangan alamat protes yang jelas.
Di wilayah kepulauan atau pegunungan dengan karakteristik unik, paket proyek dari pusat sering kali terasa seperti baju jadi—kebesaran di satu tempat, kekecilan di tempat lain.
Baca Juga:Tayangan Tentang Ponpes Lirboyo Mengundang Gelombang Protes Kalangan Santri di PriatimAnggota DPRD Jawa Barat Diadukan Menghilangkan Mobil Hasil Penggelapan!
Padahal, otonomi daerah dulu dimaksudkan agar kebijakan bisa disesuaikan dengan kebutuhan lokal. Dengan pola baru ini, ruang adaptasi itu semakin sempit.
Pandangan serupa disampaikan pengamat politik dan dosen FISIP Universitas Siliwangi, Hendra Gunawan SIP MSi.
Menurutnya, gejala re-sentralisasi kini semakin jelas terlihat, terutama setelah disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja yang menarik sejumlah kewenangan daerah kembali ke pusat.
“Sebelumnya, kewenangan diserahkan kepada daerah, kecuali lima bidang, yaitu politik luar negeri, yustisi, agama, pertahanan-keamanan, dan moneter. Sekarang banyak kewenangan yang ditarik kembali ke pusat,” ujarnya.
Ia menyebut, penarikan itu mencakup berbagai sektor: mulai dari persetujuan kesesuaian tata ruang, izin pemanfaatan ruang laut, izin usaha hortikultura, pelayanan kesehatan hewan, kehutanan, panas bumi, hingga izin usaha industri dan perdagangan.
“Kalau ditanya apakah ini bentuk resentralisasi politik atau hanya efisiensi birokrasi, saya kira bisa dua-duanya. Tapi aspek resentralisasinya lebih kuat. Ini resentralisasi yang merangkak, belum ekstrem, tapi arahnya ke sana,” katanya.
Menurut Hendra, pemerintah pusat memiliki kecenderungan historis untuk mengatur daerah secara ketat.
Baca Juga:Masuk PNS Berprestasi Jabar, Dua ASN Kota Tasikmalaya Diuji Para Dosen Kampus TernamaKetua DPD Gerindra H Amir Mahpud Bersyukur Tokoh Jawa Barat Diangkat Jadi Wamendagri!
“Sejak awal republik berdiri, hasrat pemerintah pusat untuk mengatur daerah itu besar sekali. Dan sekarang, kita melihat bandul kewenangan yang dulu mengayun ke otonomi, mulai bergerak kembali ke arah pusat,” tuturnya.
Instrumen Kepatuhan Lewat Anggaran
Hendra juga menilai, pengurangan dana transfer ke daerah bisa berimplikasi pada meningkatnya ketergantungan daerah terhadap pusat.
