TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID — Program Poe Ibu yang digagas oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menuai sorotan dari kalangan pendidik.
Salah satunya datang dari Irvan Kristivan, Kepala SDN 1 Gunungpereng yang menyoroti adanya ketimpangan kebijakan terkait rereongan atau sumbangan sukarela masyarakat.
Irvan menilai, ada standar ganda dalam penerapan aturan rereongan di lingkungan pendidikan dibandingkan dengan program pemerintah.
Baca Juga:Ketua DPD Gerindra H Amir Mahpud Bersyukur Tokoh Jawa Barat Diangkat Jadi Wamendagri!Jenderal Asal Tasikmalaya Diangkat Jadi Wakil Menteri Dalam Negeri
Ia menyebut, di sekolah, berbagai bentuk rereongan, baik dari murid maupun orang tua, sering kali dilarang atau bahkan dituduh sebagai pungutan liar (pungli).
“Murid rereongan bayar uang kas untuk keperluan kelas saja dilarang. Orang tua rereongan untuk perpisahan atau kenaikan kelas juga dilarang. Ketika sekolah minta bantuan orang tua untuk menyukseskan program, malah dituduh pungli, hanya karena ditentukan nominal dan waktunya,” ujar Irvan.
Namun di sisi lain, lanjutnya, program Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) justru mengajak seluruh masyarakat untuk rereongan sebesar Rp1.000 per hari. Termasuk para pelajar dan juga guru.
Menurutnya, sumbangan ini juga ditentukan baik dari segi jumlah maupun waktu, tetapi hal itu justru tidak dipermasalahkan.
“Lah, sekarang seluruh masyarakat diminta rereongan seribu per hari. Bukannya itu juga ditentukan nominalnya, ditentukan waktunya?” kritiknya.
Ia menilai program Poe Ibu mencerminkan ketidakjelasan arah kebijakan.
Di satu sisi, rereongan masyarakat melalui program pemerintah dianggap sah, sementara di sekolah justru dilarang.
Irvan menyebut kebingungan ini diperparah oleh masyarakat yang kerap menyikapi setiap pernyataan pemimpin seolah olah itu adalah kebijakan resmi.
Baca Juga:GP Ansor Jawa Barat Sebut Sapoe Sarebu Jadi Program Paling Aneh!Merasa Seperti Boneka, Tahu-Tahu Dipanggil, Disuruh Ikut Wawancara Calon Kepala Dinas di Kota Tasikmalaya!
“Dengan berbagai kebijakan yang berubah ubah, apalagi masyarakat tidak bisa membedakan mana kebijakan mana statement. Setiap perkataan pemimpin dianggap aturan, ya kami pelaksana di lapangan yang belepotan,” katanya. (Fitriah Widayanti)