TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Suasana halaman Sekolah Rakyat Terintegrasi 41 Kota Tasikmalaya siang itu terasa hangat.
Di antara deretan undangan acara peresmian, Selasa (7/10/2025), tampak seorang perempuan berjilbab sederhana duduk tenang.
Ia menatap anak-anak yang berbaris mengenakan seragam baru. Wajahnya menampakkan lega yang dalam, campuran antara syukur dan haru.
Baca Juga:Masuk PNS Berprestasi Jabar, Dua ASN Kota Tasikmalaya Diuji Para Dosen Kampus TernamaKetua DPD Gerindra H Amir Mahpud Bersyukur Tokoh Jawa Barat Diangkat Jadi Wamendagri!
Namanya Istikomah (38), seorang ibu tunggal penyandang disabilitas yang terlahir tanpa kedua tangan.
Ia datang dari Bojong Kaum, Gunung Palapa, Jalan KH Ma’mun Sodiq.
Bukan sekadar untuk menghadiri seremoni, melainkan untuk menyaksikan titik awal baru bagi putra sulungnya, Azril (11), yang kini resmi bersekolah di tempat itu.
“Baru ngejalanin sekolah ini saja, harapan saya sudah tinggi banget. Kayaknya anak saya insya Allah bakalan jadi ‘orang’. Kepinginnya sih sampai dia bisa kerja, bisa ngangkat derajat orangtua,” ujarnya pelan, menatap ke arah bangunan sekolah yang berdiri di hadapannya.
Istikomah tinggal di rumah kecil yang hanya memiliki satu ruangan multifungsi—ruang tamu, dapur, sekaligus tempat tidur. Di ruang sempit itulah ia membesarkan tiga anaknya seorang diri setelah berpisah dari suami empat tahun silam.
Sehari-hari, ia berjuang menjalani hidup dengan keterbatasan fisik yang dimilikinya.
Terlahir tanpa kedua tangan, ia terbiasa melakukan berbagai pekerjaan rumah dengan cara dan alat seadanya, memasak, mencuci, hingga menyiapkan kebutuhan anak-anaknya.
“Dari lahir memang begini, tapi kini semua saya usahakan sendiri,” tuturnya, tersenyum kecil.
Baca Juga:Jenderal Asal Tasikmalaya Diangkat Jadi Wakil Menteri Dalam NegeriGP Ansor Jawa Barat Sebut Sapoe Sarebu Jadi Program Paling Aneh!
Kehidupan ekonomi keluarga bergantung pada bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH) yang diterimanya tiga kali setahun, masing-masing senilai Rp1.050.000. Uang itu ia gunakan untuk membeli obat asma seharga Rp20.000, membayar utang kecil di warung, serta memenuhi kebutuhan sekolah anak-anaknya.
“Kadang kalau uang bantuan belum turun, bingung juga. Untung masih ada orangtua yang suka bantu,” ujarnya lirih.
Ia mengaku sempat pasrah, hanya berharap anak-anaknya bisa sekadar membaca dan menulis. Namun sejak mendengar kabar tentang Sekolah Rakyat yang memberikan keringanan biaya dan pendidikan terintegrasi, pandangannya berubah.
