Angka itu bahkan lebih tinggi dari musim terakhirnya di Real Madrid, ketika ia sering dirotasi dan duduk manis di bangku cadangan.
Keberhasilan Modric bertahan di level ini tentu tak lepas dari disiplin yang luar biasa. Ia dikenal sebagai pemain pertama yang tiba dan terakhir meninggalkan Milanello.
Pola makan, fisioterapi, pijat, hingga latihan tambahan jadi rutinitas yang ia jalani tanpa kompromi.
Baca Juga:Tanpa Dybala Saat Jamu Lille di Liga Europa, Jurnalis Italia Puji Keberanian GasperiniGol Telat Ramos Bawa PSG Beri Barcelona Kekalahan Perdana, Flick: Pemain Kami Kelelahan
Di luar lapangan, Modric juga beradaptasi cepat. Ia memilih tinggal di kawasan Porta Nuova, pusat kota Milan, bersama keluarga.
Demi menyatu dengan lingkungan barunya, ia kini belajar bahasa Italia.
Kehadirannya bukan hanya penting di lapangan, tapi juga di ruang ganti, di mana ia dipandang sebagai pemimpin yang memberi ketenangan pada rekan setimnya.
Bagi Modric, Milan punya arti khusus. Sejak kecil ia mengidolakan Rossoneri, dan kini, di usia senja kariernya, ia benar-benar mengenakan jersey merah-hitam.
Bahkan dua anaknya, Ivano dan Ema, kini ikut membela tim muda Milan.
Di tengah era sepak bola modern yang serba cepat, kisah Modric adalah pengecualian yang indah.
Seorang legenda yang tetap bersinar terang di usia 40 tahun dan membuat semua orang, termasuk Adrien Rabiot, terpaksa menggelengkan kepala tak percaya.