Senjakala Kelom Geulis di Kota Tasikmalaya

kelom geulis kota tasikmalaya
Tugu Kelom Geulis di Bundaran Gobras Kota Tasikmalaya. (Ayu Sabrina/radartasik.id)
0 Komentar

TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Sore itu, perjalanan singkat dengan ojek online sejauh empat kilometer mendadak berubah jadi obrolan panjang penuh makna. Dari balik helm hijau yang ia kenakan, Yuda, sang pengemudi, menuturkan kisah hidup yang lebih dalam dari sekadar rutinitas antar-jemput penumpang.

Sebelum menjadi pengemudi ojek online pasca-pandemi Covid-19, Yuda adalah perajin kelom geulis—alas kaki berukir kayu yang sudah puluhan tahun menjadi ikon kebanggaan Kota Tasikmalaya. Selama lebih dari lima tahun ia menggeluti kerajinan itu, sampai akhirnya harus menyerah ketika pandemi menghantam keras sektor ekonomi kreatif.

“Waktu itu pangsa pasarnya sempit sekali, modal harus besar, ditambah lagi sulit mencari tukang ukir yang benar-benar paham teknisnya. Kelom geulis itu tidak sembarang dibuat, ada keahlian khusus biar bisa dibilang otentik,” cerita Yuda, sembari menahan laju motornya di lampu merah, Kamis (26/9/2025).

Baca Juga:Pemkot Tasikmalaya Dalami Pejabat ASN yang Diduga Punya Proyek Dapur MBG!Memperingati Hari Berkabung Nasional 30 September, Pemasangan Bendera Setengah Tiang di Tasikmalaya Tak Kompak

Kelom geulis bukan sekadar sandal kayu biasa. Proses produksinya panjang: mulai dari memilih kayu yang kuat, mengukir motif rumit, melapisi cat dan pernis, hingga memasang kain atau kulit pada bagian atasnya. Semua membutuhkan biaya besar, tenaga terampil, dan ketelitian tingkat tinggi.

Menurut Yuda, satu pasang kelom geulis bisa menghabiskan modal hingga ratusan ribu rupiah. Bila dijual tanpa jaringan pemasaran yang luas, keuntungan tak sebanding dengan tenaga yang tercurah.

“Kalau bikin satu-dua pasang saja tidak nutup. Kalau bikin banyak, modalnya berat. Jadi serba sulit,” ujarnya.

Dulu, kawasan Gobras di Tasikmalaya dikenal sebagai sentra pengrajin kelom geulis. Deretan rumah dan bengkel kecil berdiri, masing-masing memproduksi sandal kayu beraneka motif—bunga, batik, hingga ukiran tradisional. Kelom geulis bahkan pernah jadi buah tangan favorit wisatawan dan dikenakan pada berbagai acara adat Sunda.

Kini, suasana itu tinggal kenangan. Banyak workshop Kelom Geulis tutup karena tak kuat bertahan. Permintaan pasar terus merosot, kalah oleh gempuran produk sandal modern yang lebih murah dan praktis. Generasi muda pun jarang yang tertarik mewarisi keterampilan mengukir kayu.

0 Komentar