TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Keracunan akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) mencuat di berbagai daerah, termasuk di Tasikmalaya yang jug menuai polemik. Kasus tersebut menimbulkan keresahan publik sekaligus memunculkan pertanyaan, apakah korban dapat menempuh jalur hukum.
Praktisi hukum dari Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Anne Dinatapura MH, menegaskan bahwa korban keracunan memiliki hak penuh untuk melapor maupun menggugat pihak yang dianggap bertanggung jawab.
“Untuk kasus keracunan akibat mengonsumsi MBG tentu saja bisa diproses hukum, dengan menyertakan bukti medis seperti hasil laboratorium. Itu penting untuk memastikan bahwa korban benar-benar mengalami keracunan,” jelas Anne kepada Radar, Rabu (1/10/2025).
Baca Juga:Pemkot Tasikmalaya Dalami Pejabat ASN yang Diduga Punya Proyek Dapur MBG!Memperingati Hari Berkabung Nasional 30 September, Pemasangan Bendera Setengah Tiang di Tasikmalaya Tak Kompak
Ia menerangkan, langkah awal yang harus dilakukan korban adalah menjalani pemeriksaan medis di fasilitas kesehatan resmi. Hasil pemeriksaan itu menjadi bukti utama yang wajib dilampirkan saat membuat laporan ke kepolisian.
“Tanpa bukti medis, laporan akan lemah. Pemeriksaan medis adalah pintu masuk pertama,” tegasnya.
Setelah laporan diterima, kepolisian akan memproses melalui tahapan penyelidikan. Dalam tahap ini, sejumlah pihak terkait akan dipanggil untuk memberikan keterangan. Menurut Anne, siapa yang dijadikan terlapor sepenuhnya merupakan kewenangan aparat berdasarkan temuan penyelidikan.
“Kalau ditemukan ada kelalaian dari pihak manapun, maka pihak itulah yang akan dimintai pertanggungjawaban hukum,” ujarnya.
Anne juga mengingatkan bahwa tanggung jawab tidak hanya berhenti pada penyedia makanan. Jika terbukti ada kelalaian dalam fungsi pengawasan, pemerintah pun berpotensi menjadi pihak yang digugat. Gugatan ini dapat dilakukan melalui jalur perdata.
Dasar hukumnya, kata Anne, dapat mengacu pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang mengatur perbuatan melawan hukum, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, serta Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
“Kalau pemerintah yang digugat, maka bentuknya gugatan perbuatan melawan hukum (PMH), ditambah rujukan dari UU Pelayanan Publik dan UU Administrasi Pemerintahan,” jelasnya.
Baca Juga:Imbas Kasus Keracunan MBG, 3 SPPG di Priangan Timur Terkena Penonaktifan SementaraPejabat Pemkot Tasikmalaya Punya Proyek MBG, BKPSDM Sebut Eloknya Tak Boleh!
Namun demikian, Anne menekankan bahwa setiap gugatan memiliki konsekuensi pembuktian di pengadilan. Hakim akan menilai apakah kelalaian benar-benar terjadi, dan apakah ada hubungan sebab-akibat antara kelalaian tersebut dengan kerugian yang dialami korban.