TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Di ruang sederhana SD Negeri 2 Cieunteung Kota Tasikmalaya, seorang kepala sekolah berusia 38 tahun duduk dengan tenang, berbincang akrab dengan murid-muridnya. Tidak ada jarak kaku yang biasanya memisahkan jabatan dengan peran mendidik. Baginya, sekolah adalah rumah belajar, dan kepala sekolah bukanlah sosok yang harus ditakuti, melainkan pelayan.
“Guru itu pelayan. Kepala sekolah itu pelayan. Makin tinggi jabatan sebenarnya makin besar tanggung jawab untuk melayani,” ucap A Heru Sujud SPd, dengan suara mantap.
Lahir di Garut pada 1987, Heru tumbuh dengan kecintaan pada pengetahuan. Ia menempuh pendidikan dasar di SDN Cinagara 1, lalu melanjutkan ke SLTPN 1 Malangbong dan SMUN 1 Malangbong. Jalan pendidikannya berlanjut ke Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), menuntaskan program D2 PGSD, lalu melanjutkan hingga lulus S1 PGSD pada 2011.
Baca Juga:Sinyal IM3 di Tasikmalaya Kian Kuat dengan 39 Menara BTS Baru, Dongkrak Potensi Ekonomi LokalHotel Santika Tasikmalaya Hadirkan Paket Pernikahan Eksklusif “The Wedding Story”
Namun, bukan hanya bangku kuliah yang menempanya. Heru muda dikenal kritis sejak SMA. Ia pernah duduk bersama guru agama dan kawan-kawannya, berdiskusi tentang keterbatasan pengetahuan yang diajarkan. Dari situ, ia terbiasa menimbang persoalan dengan kepala dingin.
Di UPI, ia bergabung dengan BEM Departemen Pendidikan, memperluas jejaring dan kepekaan sosial. Belakangan, ia aktif sebagai fasilitator literasi daerah, pernah menjadi Ketua Forum Kelompok Kerja Guru (FKKG), hingga kini mengemban amanah di bidang advokasi PGRI Kota Tasikmalaya.
Di balik kesibukannya, Heru punya kegemaran membaca. Dari Madilog hingga tulisan Rocky Gerung, dari buku-buku satire hingga literatur pendidikan, ia menemukan fondasi berpikir: jangan pernah berargumen tanpa fakta. “Kalau kita ngomongin hukum terkait peraturan, kita jangan bicara dengan asumsi. Harus berbasis pada kebenaran yang nyata,” katanya.
Ketika dipercaya memimpin SDN 2 Cieunteung pada 2023, Heru membawa satu prinsip: kesetaraan. Baginya, sekolah bukan sekadar tempat melahirkan juara lomba, melainkan ruang tumbuh bagi semua anak.
“Kalau ada siswa berprestasi lalu dispesialkan, itu sama saja mengorbankan yang lain. Pendidikan harus untuk semua, bukan hanya untuk yang bisa mengharumkan nama sekolah,” tegasnya.
Heru menolak pendekatan hierarkis dalam pendidikan. Ia memilih memperlakukan siswa sebagai teman bicara, guru sebagai mitra sejajar, dan orang tua sebagai bagian dari keluarga besar sekolah. “Dalam pembelajaran mendalam, prinsipnya adalah belajar yang berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan,” ujarnya.