CIAMIS, RADARTASIK.ID – Upacara adat sakral Nyangku Panjalu bukan sekadar ritual turun-temurun. Sejak abad ke-7, tradisi ini menjadi simbol penghormatan kepada leluhur yang telah berjasa menyebarkan Islam di Tanah Panjalu.
Kini, ratusan tahun berselang, Nyangku tetap lestari, menjadi ruang silaturahmi sekaligus pesta budaya rakyat.
Ribuan warga memadati Alun-Alun Borosngora di Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis pada Kamis (18/9/2025). Suasana khidmat bercampur meriah terasa ketika pusaka peninggalan Prabu Borosngora diarak keluar dari Museum Bumi Alit.
Baca Juga:Manajemen Talenta di Kota Tasikmalaya: Inovasi atau Jalan Pintas Promosi Jabatan?Tak Berubah, Gaya Komunikasi Kadinsos Kota Tasikmalaya Dikritik Publik
Pedang Zulfikar, Kujang Panjalu, dan benda pusaka lainnya disambut penuh takzim sebelum dicuci dengan air dari 55 sumber mata air.
Benda-benda tersebut diarak oleh orang-orang berpakaian serba putih. Mereka biasanya tak lain masih para keturunan keluarga Kerajaan Galuh.
Iring-iringan itu berjalan dari Bumi Alit menuju panggung di Alun-Alun Borosngora yang sudah dipadati masyarakat.
Sebagai simbol tradisi sekaligus budaya, acara pembersihan benda-benda pusakan tersebut memang sengaja digelar di tempat terbuka, agar dapat disaksikan khalayak.
Bahkan panggung khusus dari bambu didirikan untuk tempat pencucian. Serangkaian acara juga digelar, sebelum kegiatan inti dilaksanakan.
Pemangku Adat Panjalu, Rd Agus Gusnawan Cakradinata, menegaskan makna mendalam dari tradisi ini.
“Upacara adat Nyangku ini sudah sejak abad ke 7 bertahan hingga sampai saat ini (tahun 2025, red). Karena ada haul juga sebagai bentuk memperingati jasa leluhur, para anak cucunya mengadakan Nyangku ini,” katanya.
Baca Juga:Didanai Kelompok Anarkis Luar Negeri, Polda Jabar Ungkap Otak Pembakaran Bandung dan Tasikmalaya Bulan LaluDua Siswa MAN 1 Tasikmalaya Lolos Final OSN Tingkat Nasional Bidang Fisika
Ia menceritakan, sebenarnya total pusaka yang disimpan di Bumi Alit berjumlah tujuh. Biasanya semua benda pusaka dikeluarkan untuk dicuci.
Namun pada Nyangku tahun ini hanya tiga yang disertakan dalam tradisi Nyangku. Antara lain pedang Zulfikar, kujang, dan pedang Prabu Hariang Kuning.
“Kalau dalam rangka mencuci dan pembersihan pada Nyangku hari ini ada tiga pusaka. Seperti pedang Zulfikar Sayidina Ali, kujang, dan pedang Prabu Hariang Kuning,” ujarnya.
Agus menekankan bahwa Nyangku bukan hanya perayaan budaya, melainkan syiar agama.
“Berharap ke depannya ada peningkatan bukan hanya keramaian saja. Akan tetapi masyarakat juga untuk keimanan dan keislamannya juga meningkat. Karena Nyangku ini, untuk syiar agama dan budaya, apalagi ini peninggalan leluhur untuk menghormati yang telah berjasa dalam penyebaran Islam,” katanya.