Karya Jurnalis Radar Tasikmalaya Masuk 5 Besar Nominasi Penghargaan Karya Jurnalistik tentang Anak oleh UNICEF

Ayu Sabrina radar tasikmalaya penghargaan karya jurnalistik
Ayu Sabrina Barokah, jurnalis Radar Tasikmalaya
0 Komentar

TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Nama Ciangir mungkin sekadar titik di peta Kota Tasikmalaya. Namun bagi Ayu Sabrina, Jurnalis Radar Tasikmalaya, tempat itu menjelma laboratorium kesabaran, ruang belajar, sekaligus panggung perjuangan jurnalistik.

Dari gunungan sampah yang terus menebarkan bau menyengat, ia belajar bahwa anak-anak pun bisa menjadi korban paling nyata dari krisis lingkungan.

Kamis (18/9/2025), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bersama UNICEF mengumumkan nominasi lima besar karya terbaik untuk Penghargaan Karya Jurnalistik tentang Anak kategori media cetak.

Baca Juga:Manajemen Talenta di Kota Tasikmalaya: Inovasi atau Jalan Pintas Promosi Jabatan?Tak Berubah, Gaya Komunikasi Kadinsos Kota Tasikmalaya Dikritik Publik

Ayu tak pernah menyangka bisa berdiri sejajar dengan nama-nama besar seperti Lani Diana dari Tempo, Fransiskus Wisnu Wardhana Dany dari Kompas, dan Fadmi Sustiwi dari Kedaulatan Rakyat.

Karya yang ia kirim berjudul “Siswa Dibayangi Penyakit,” lahir dari 100 hari peliputannya tentang Ciangir. Awalnya, ia mengaku hanya ingin memahami dampak Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) TPA Ciangir yang mencemari sungai dan sumur warga di Sinargalih.

“Namun perjalanan itu menyeret saya lebih jauh. Di sana, hanya 300 meter dari gunungan sampah yang sesungguhnya bernama Kampung Cikadondong, berdiri sebuah sekolah dasar negeri. Dari ruang kelas, anak-anak belajar dengan masker, kerap terganggu lalat, bahkan kadang harus pulang lebih cepat karena pusing menghirup bau sampah,” paparnya.

Bagi Ayu, liputan itu bukan sekadar catatan fakta, melainkan potret luka masyarakat yang terus menerus ia temui. Sejak Oktober 2024, ketika ikan-ikan pertama kali mati karena sungai tercemar limbah plastik.

“Saya tahu perjalanan ini bukan sebentar. Setahun sudah berlalu, dan IPAL tetap menghitam, mengalirkan racun ke tanah, air, dan udara,” katanya.

Perjalanan liputan tentang Ciangir menjadi sekolah bagi Ayu. Ia mengaku awalnya tak paham sama sekali soal isu lingkungan. Apalagi tentang dunia anak.

“Saya bukan akademisi, bukan aktivis. Tapi setiap hari di Ciangir. Saya belajar ulang tentang air, tentang udara, tentang tubuh kecil anak-anak yang paling rentan. Saya belajar bahwa ketika mau membuka mata dan hati, pengetahuan bisa dirajut seiring langkah,” ujarnya.

Baca Juga:Didanai Kelompok Anarkis Luar Negeri, Polda Jabar Ungkap Otak Pembakaran Bandung dan Tasikmalaya Bulan LaluDua Siswa MAN 1 Tasikmalaya Lolos Final OSN Tingkat Nasional Bidang Fisika

Dari kebingungan tentang isu lingkungan, Ayu akhirnya punya keyakinan: setiap jurnalis bisa bertransformasi jika tekun menapaki cerita yang sedang ia perjuangkan.

0 Komentar