PANGANDARAN, RADARTASIK.ID – Situasi sosial-politik di Kabupaten Pangandaran tengah berada dalam sorotan serius.
Sarasa Institute menilai, akumulasi kekecewaan masyarakat Pangandaran terhadap tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik telah mencapai titik yang mengkhawatirkan.
Jika tidak segera ditangani, kondisi ini berpotensi berubah menjadi letupan amarah massa yang sulit dikendalikan.
Baca Juga:Pesan Keras Presiden Prabowo: Sampaikan Aspirasi Dihormati, Tindakan Anarki Tak Akan DiampuniHasil Sidang Kabinet: Presiden Prabowo Tegaskan TNI-Polri Harus Satu Komando Demi Stabilitas Nasional
Direktur Eksekutif Sarasa Institute, Tedi Yusnanda, menyampaikan, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang menekan ruang fiskal daerah, ditambah dugaan kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor wisata, menjadi isu utama yang menggerus kepercayaan publik.
Dorongan masyarakat agar DPRD menghadirkan Panitia Khusus (Pansus) untuk mengusut dugaan kebocoran PAD Kabupaten Pangandaran justru tidak mendapat tindak lanjut yang jelas.
Dari sisi eksekutif, sikap pasif dengan dalih ”menunggu” dinilai hanya memperdalam frustrasi warga.
Sejumlah kebijakan lain, seperti pengalihan hak lahan pesisir yang buram, hilangnya tanah desa, hingga alih fungsi pasar menjadi lahan parkir tanpa solusi relokasi pedagang, semakin mempertebal rasa ketidakadilan.
Sarasa Institute mengingatkan, masalah ini tidak bisa dilihat sebatas administratif.
Akumulasi rasa kecewa dapat berubah menjadi ”patah hati kolektif” yang melahirkan solidaritas kemarahan.
Mengutip perspektif Gustave Le Bon—psikolog sosial asal Prancis, Tedi menjelaskan, individu yang larut dalam kerumunan akan kehilangan identitas rasional dan mudah tersulut emosi.
Sementara menurut Charles Tilly—sosiolog Amerika, mobilisasi rakyat muncul ketika ketidakadilan struktural disadari sebagai persoalan sistemik, bukan lagi masalah personal.
Baca Juga:
Pada titik itulah, solidaritas rakyat bisa menjadi energi besar yang mendorong aksi kolektif.
Menurut Tedi, dalam kajian komunikasi politik, sikap pemerintah yang pasif dan tidak transparan hanya akan mempercepat krisis legitimasi.
Publik yang kehilangan saluran aspirasi cenderung mencari jalannya sendiri, dan di situlah amarah bisa berubah menjadi energi sosial yang tak terbendung.
Untuk mencegah ledakan sosial, Sarasa Institute menyampaikan sejumlah rekomendasi:
Legislatif segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk mengusut dugaan kebocoran PAD sektor wisata dengan jadwal kerja transparan.
Eksekutif diminta menghentikan praktik penundaan dengan alasan ”menunggu” dan segera merilis peta jalan pembenahan pengelolaan aset publik.