Jalan Rusak di Banjar: Jalur Maut yang Dibiarkan Merenggut Nyawa, Bukti Kelalaian Negara

Jalan Rusak di Kota Banjar
Pengendara motor melintasi Jalan Bantardawa di Desa Rejasari, Kecamatan Langensari, Kota Banjar, yang rusak parah, Jumat, 22 Agustus 2025. (Anto Sugiarto/Radartasik.id)
0 Komentar

BANJAR, RADARTASIK.ID – Ruas jalan di Desa Rejasari, Kecamatan Langensari, Kota Banjar, kerap disebut warga sebagai jalur maut.

Kondisi jalan yang rusak dan berlubang terus menelan korban, mulai dari pelajar, ibu rumah tangga, hingga orang tua.

Hampir setiap pekan, ada saja pengendara yang jatuh dan mengalami luka serius.

Baca Juga:Kecelakaan di Kota Banjar: Becak Parkir di Bahu Jalan Tertabrak Sepeda Motor, Pengendara Sempat KritisPembentukan Desa Sindangmulya Kota Banjar Butuh Dorongan Politik, Komite Gandeng Anggota Dewan

Insiden ini menimbulkan pertanyaan besar: sejauh mana negara menjalankan kewajiban dasarnya dalam melindungi warganya?

Pemerhati Pemerintahan Kota Banjar, Firman Nugraha, mengingat kembali kasus tragis tahun 2016 di Desa Kujangsari.

Saat itu, seorang warga bernama Karman (60) meninggal dunia setelah tertabrak sepeda motor yang dikendarai Nurhidayati (30).

Pengendara motor diduga menghindari lubang di jalan sehingga keluar dari jalur aspal dan menabrak korban yang berdiri di pinggir jalan.

Peristiwa semacam ini memperlihatkan bahwa infrastruktur publik yang seharusnya melindungi kehidupan justru menjadi ancaman nyata bagi keselamatan warga.

Firman menegaskan, hak hidup adalah hak mendasar yang dilindungi oleh UUD 1945 Pasal 28A.

Hak ini bersifat mutlak dan tidak dapat dikurangi dengan alasan apa pun, termasuk keterbatasan anggaran.

Baca Juga:Keluhan Infrastruktur Menumpuk, Jalan Rusak di Kota Banjar Bisa Mengganggu KondusivitasMantan Wali Kota Banjar Ade Uu Sukaesih: Hayu Semangat, Ulah Ripuh!

Dalam perspektif hak asasi manusia, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi (salus populi suprema lex).

Negara dibentuk untuk memberikan perlindungan, dan kegagalannya mencegah ancaman terhadap nyawa warga adalah bentuk pengabaian kewajiban eksistensial.

Kerangka hukum nasional sebenarnya telah memberi pijakan jelas.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 24, mewajibkan pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota segera memperbaiki jalan rusak yang membahayakan keselamatan.

Bahkan, Pasal 273 menegaskan adanya sanksi pidana bagi penyelenggara jalan yang lalai hingga menyebabkan kecelakaan, luka, atau kematian.

Dengan demikian, korban jiwa akibat jalan rusak di Banjar ini bukanlah semata musibah, melainkan peristiwa hukum dan pelanggaran hak asasi manusia.

Perbaikan jalan rusak di Kota Banjar yang tak kunjung terealisasi memperlihatkan ironi mendalam.

Korban terus berjatuhan, namun tanggung jawab pemerintah seolah terabaikan.

Dalam konteks ini, keterlambatan tidak bisa lagi dianggap sebagai kelalaian administratif, melainkan potensi pelanggaran hak hidup.

Setiap nyawa yang melayang akibat jalan berlubang adalah bukti konkret bahwa negara gagal melindungi warganya.

0 Komentar