“Kalau di sana memang sudah lama. Kalau tidak salah ada empat tahun. Lebih dari itu sih,” katanya.
Sementara Ketua LPM Nagarasari, Yanto Ibnu R, menilai solusi bisa ditempuh bila pemilik tanah wakaf memberi hak guna pakai.
“Seandainya yang punya tanah itu bisa memberikan hak guna pakai, kenapa tidak? Kita bergotong royong, jika pemerintah terkendala aturan. RT, RW, dan kelurahan bisa ikut membantu agar rumahnya bisa dibangun atau direhabilitasi. Selama yang punya tanah tidak mempermasalahkan,” ujarnya.
Kisah “Gubuk Derita”
Baca Juga:Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan 1000 Persen di Cirebon Distop Gubernur Jabar, Ini Kata Dedi MulyadiKota Tasikmalaya dan Dua Daerah Lain Belum KLA, Pemprov Jabar Gagal Raih Penghargaan Provila dari KemenPPA
Sebelumnya, Radar menyoroti langsung kehidupan Mak Elen di rumah berukuran dua kali tiga meter yang reyot dan rapuh. Perempuan berusia 90 tahun itu sudah lebih dari sepuluh tahun bertahan di bilik berdinding bilik bambu bersama Jua, anaknya yang tunanetra dan sakit jantung.
Elen berjalan sangat hati-hati ketika hendak keluar kamar. Tubuhnya yang renta membuatnya mesti melangkah pelan. Dinding rumahnya sebagian besar jebol, plafon berlubang, dan sejumlah cagak kayu di bawah rumah mulai miring.
“Mun henteu hujan, bumi ieu panas pisan. Tapi lamun hujan ageung sareng angin, cai teh lebet kedah nadah ngangge ember-ember ieu. Ya sabar we da teu aya deui iwal di dieu,” tutur Elen.
Hari-hari mereka bergantung pada kebaikan tetangga. Ada yang membawa beras, ada yang menyisihkan lauk sederhana. Listrik pun hanya menyalur dari rumah sebelah, itupun bila dinyalakan.
Di ruang lembab tanpa jendela yang lebih mirip gudang itulah, Elen dan Jua melewati malam—berlapis usia dan sakit. Bagi keduanya, rumah reyot itu bukan lagi tempat menata masa depan, melainkan sekadar tempat bertahan di usia senja.(Ayu Sabrina)