TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Angka kemiskinan di wilayah Priangan Timur diklaim terus menurun. Kota Tasikmalaya salah satunya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) kemiskinan Kota Tasikmalaya turun secara berturut-turut. Tahun 2020 sebesar 12,97%, tahun 2021 sebesar 13,13%, tahun 2022 sebesar 12,72%, tahun 2023 sebesar 11,53% dan tahun 2024 sebesar 11,1%.
Selain itu rata-rata lama sekolah di Kota Tasikmalaya mash 11,51 tahun 2024 dan tahun 2025 11,53. Pada tahun 2029, angka ini ditargetkan naik menjadi 13,58.
Baca Juga:Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan 1000 Persen di Cirebon Distop Gubernur Jabar, Ini Kata Dedi MulyadiKota Tasikmalaya dan Dua Daerah Lain Belum KLA, Pemprov Jabar Gagal Raih Penghargaan Provila dari KemenPPA
Meskipun demikian, Kota Tasikmalaya masih menghadapi tantangan dalam penanggulangan kemiskinan, dan angka ini masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata provinsi Jawa Barat.
Pada akhir Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2030, Kota Tasikmalaya menargetkan penurunan angka kemiskinan hingga 9,5 persen.
Kepala Bappelitbangda Kota Tasikmalaya, H Apep Yosa Firmansyah mengatakan, tren penurunan kemiskinan sudah terlihat sejak beberapa tahun terakhir.
“Secara bertahap angka kemiskinan turun, walaupun masih ada tantangan besar pada kelompok miskin ekstrem yang membutuhkan intervensi lebih serius,” ujarnya, Rabu (20/8/2025).
Meski tidak menyebut angka detail penduduk miskin ekstrem, Apep menegaskan bahwa kelompok ini masih cukup signifikan.
“Dari 11 persen total kemiskinan, sebagian di antaranya adalah kategori miskin ekstrem. Jumlahnya memang fluktuatif, tapi tren menunjukkan penurunan,” kata dia.
Ia menyebutkan, wilayah dengan tingkat kemiskinan ekstrem tertinggi berada di kawasan pinggiran kota.
Baca Juga:Bupati Pangandaran Lepas Mahasiswa KKN STH Galunggung ke Lima Desa di Kecamatan ParigiBerburu Layangan Putus, Seorang Anak di Kota Tasikmalaya Terserempet Motor dan Meninggal Dunia
“Kecamatan Tamansari, Kawalu relatif masih tinggi. Itu karena karakteristik wilayahnya yang banyak bergantung pada sektor informal dan pertanian tradisional,” terangnya.
Untuk menentukan kategori miskin ekstrem, Pemkot mengacu pada standar nasional.
“Indikatornya antara lain pengeluaran per kapita rumah tangga, akses terhadap pendidikan dan kesehatan, hingga kondisi hunian. Bila pengeluaran per kapita sangat rendah di bawah garis kemiskinan ekstrem, maka mereka masuk kategori tersebut,” jelas Apep.
Apep menambahkan, masih tingginya angka kemiskinan ekstrem dipengaruhi berbagai faktor. Namu yang paling dominan adalah keterbatasan akses pekerjaan layak, pendidikan yang belum merata, serta daya dukung infrastruktur dasar seperti air bersih dan sanitasi.
“Kesehatan juga sangat menentukan, karena beban biaya medis sering membuat keluarga jatuh miskin kembali,” paparnya.
Menurut Apep, sektor pertanian yang masih tradisional menjadi salah satu penyebab sulitnya warga keluar dari jerat miskin ekstrem.