Namun, stabilitas finansial saja tak cukup jika Milan kehilangan denyut suporter yang jadi napas klub.
Sejarah juga menunjukkan betapa pentingnya Curva Sud dalam perjalanan Milan.
Pada era akhir 1980-an ketika Silvio Berlusconi mengambil alih klub, atmosfer tribun Curva Sud menjadi simbol kebangkitan Rossoneri.
Lagu-lagu mereka menjadi bahan bakar emosional bagi tim Arrigo Sacchi yang akhirnya merajai Eropa.
Baca Juga:Legenda Inter Tuding Lookman Pemain Tak Profesional: Puji Langkah Atalanta Datangkan KrstovicIstri Dybala Beri Sinyal Pulang ke Boca Juniors, Friedkins Turun Tangan Angkut Jadon Sancho
Begitu pula pada periode sulit awal 2010-an, Curva Sud tetap hadir meski Milan kehilangan bintang-bintang besar.
Dengan koreografi megah dan dukungan tanpa henti, mereka menjaga identitas klub tetap hidup.
Jika Curva Sud memilih bungkam, Milan tak hanya kehilangan suara, tetapi kehilangan simbol keberanian, kebanggaan, dan sejarah yang tak bisa dipisahkan dari perjalanan klub.
Ketegangan yang berlarut-larut bisa mengakibatkan tim kehilangan dukungan emosional, manajemen kehilangan legitimasi di mata fans garis keras, dan stadion ikonik San Siro terasa “kosong” meski terisi puluhan ribu orang.
Karena itu, desakan agar Milan segera berdamai dengan Curva Sud semakin keras terdengar.
Dialog terbuka, penghapusan kebijakan diskriminatif, atau setidaknya kompromi yang bisa diterima kedua belah pihak dianggap sebagai jalan keluar.
Suporter adalah jiwa klub. Tanpa mereka, bahkan kemenangan pasti terasa hambar.
Baca Juga:Jelang Laga Lawan Fiorentina, Presiden Klub Ukraina Curhat Pemainnya Hidup dalam KoperIni Hukuman Atalanta untuk Lookman Usai Dicampakkan Inter Milan
Bagi Allegri dan para pemain, dukungan penuh San Siro akan sangat penting ketika mereka menghadapi musim baru.
Milan jelas tidak bisa terus membiarkan tribun kebanggaannya kosong dan berdamai dengan Curva Sud bukan hanya soal meredam konflik, melainkan juga menyelamatkan identitas klub yang sudah berakar puluhan tahun.