“Yang membedakan hanyalah jenis atau karakteristik permainannya. Misalnya, untuk anak perempuan bisa menggunakan permainan yang sifatnya feminin atau sesuai kesukaannya. Sementara untuk anak laki-laki, jenis permainan mungkin lebih maskulin seperti mobil-mobilan atau robot-robotan,” jelasnya.
Pendekatan ini, lanjut Rikha, tidak hanya berfungsi sebagai media ekspresi emosi, tetapi juga menjadi sarana aman bagi anak untuk memproses pengalaman traumatisnya secara bertahap.
Dengan jumlah kasus yang masih tinggi, ia menilai perlunya sinergi seluruh pihak—keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah—untuk membentuk lingkungan yang aman, ramah, dan suportif bagi anak, sehingga risiko kekerasan dapat ditekan dan proses pemulihan korban berjalan optimal.(Ayu Sabrina)