“Saya tahunya pot itu awalnya hanya di Dokar, ternyata di sini juga ada. Kami belum tahu soal pengadaannya, dan nanti akan berkoordinasi dulu dengan leading sector-nya,” ujar Hendra.
Radar sebelumnya mencatat, lebar trotoar di beberapa titik di Jalan dr Soekardjo hingga KHZ Mustofa hanya berkisar antara 1,5 hingga 1,8 meter, bahkan menyempit di beberapa area karena ada tiang, pohon, dan kini ditambah pot bunga.
Idealnya, menurut Hendra, trotoar dibangun dengan lebar 2 meter agar dapat mengakomodasi jalur pedestrian dan kebutuhan disabilitas seperti guiding block yang ditandai dengan ubin kuning bergerigi.
Baca Juga:Berburu Layangan Putus, Seorang Anak di Kota Tasikmalaya Terserempet Motor dan Meninggal DuniaTahapan Pengisian Kursi Direktur Operasional BPRS Al Madinah Kota Tasikmalaya Sudah Dijalankan
“Kalau dua meter, itu aman. Ada untuk disabilitas dan pengguna jalan kaki lainnya. Tapi sekarang (setelah ada pot bugenvil) jadi agak sempit ya. Estetika iya, tapi kalau soal kenyamanan atau hambatan, ya tentu pejalan kaki yang bisa menilai,” ucapnya.
Meski begitu, Hendra enggan mengomentari aspek regulasi penempatan pot tersebut. Ia menegaskan bahwa tanggung jawab penataan pot bukan di bawah DPUTR.
Seperti diketahui, Dinas Lingkungan Hidup Kota Tasikmalaya telah memasang 97 pot bunga bugenvil di sepanjang ruas jalan dr Soekardjo hingga HZ Mustofa. Total anggaran yang digelontorkan untuk penempatan pot tersebut sebesar Rp 143 juta.
Kini, pot-pot itu telah ditanami bunga Bugenvil tiga warna berikut media tanamnya. Bunga jenis itu sengaja dipilih lantarna dinilai tahan cuaca. Pot ditempatkan di kawasan yang dinilai strategis, termasuk sekitar Masjid Agung, Jalan Dokar, dan ruas utama pusat kota.
Namun dengan ruang trotoar yang terbatas, efektivitas dan fungsionalitas elemen estetika ini kembali dipertanyakan. Apalagi, tidak semua ruas memiliki lebar ideal, dan pot-pot tersebut kini menambah kepadatan di jalur pedestrian yang semestinya ramah semua pengguna.
Masyarakat pun kini menanti tindak lanjut dari janji evaluasi Wali Kota. Karena keindahan kota, seyogianya, tidak boleh dibangun dengan mengorbankan aksesibilitas dan kenyamanan warganya sendiri. (Ayu Sabrina)