Deviani, Pendiri Rumah Eco Enzyme Kota Tasikmalaya, Perjuangan dari Kursi Roda Menuju Jalan Pengabdian

RAMAH LINGKUNGAN
Deviani menunjukkan produknya di Rumah Eco Enzyme dan Kompos Tasikmalaya. Jumat (11/7/2025). (Ayu Sabrina B/ Radartasik.id)
0 Komentar

TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Di sebuah rumah bergaya Belanda yang terletak di Jalan Kapten Naseh, Kelurahan Panglayungan, Kecamatan Cipedes, seorang perempuan berusia 54 tahun tengah menapaki hidup keduanya dengan penuh syukur dan pengabdian.

Namanya Deviani, pendiri dan pengelola Rumah Eco Enzyme dan Kompos, sekaligus sosok yang menyulap keterpurukan menjadi gerakan lingkungan yang penuh manfaat.

Perjalanan ini bermula dari masa sulit. Pada tahun 2023, Deviani mengalami sakit berat akibat HEV (Hepatitis E Virus). Tubuhnya lumpuh, dan selama tujuh bulan ia hanya bisa terbaring. “Awalnya saya sakit, gak bisa jalan. Tujuh bulan terbaring. Mau bergerak saja kaku,” kenangnya.

Baca Juga:Srie Mulyati, Dosen UPI Kampus Tasikmalaya, Kembangkan Modul Ajar Ethno-STEM untuk Tingkatkan Literasi SainsAlumni Satas 90 Pererat Kekompakan, Reuni Sambil Kenalkan Wisata Jeep Galunggung Tasikmalaya

Berbagai upaya pengobatan dilakukan, mulai dari rawat inap di rumah sakit hingga terapi intensif. Namun hasilnya belum signifikan. Hingga suatu hari, ia mencoba eco enzyme, cairan fermentasi dari limbah organik yang ia peroleh dari orang lain. Itu menjadi titik balik.

“Saya waktu itu pertama kali minta dulu ke orang. Terus saya pakai, dibalurin. Tangan saya enakkan. Saya waktu itu pakai kursi roda juga. Ternyata pakai eco enzyme itu kebantu. Meski masih didampingi dokter, tapi penyembuhannya lebih cepat,” tutur Devi.

“Saya merasa diberikan kesempatan hidup kedua. Sembuh dari penyakit itu dari eco enzyme. Sayang banget kalau ini gak disampaikan ke masyarakat banyak. Rakyat kita itu lagi susah. Ini bisa menolong mereka,” tambahnya.

Sejak pulih, Devi memproduksi sendiri eco enzyme di rumah masa kecilnya, rumah tua bergaya Belanda yang kini menjadi pusat pelatihan lingkungan. Ia bergabung dalam komunitas Pusaka Indonesia dan jaringan Relawan Eco Enzyme Nusantara, tempatnya belajar lebih dalam soal permakultur, pertanian biodinamik, dan metode fermentasi organik. Yang menarik, semua produk yang ia buat dibagikan secara cuma-cuma.

“Sedekah itu kan macam-macam ya. Saya memilih sedekah dengan cara ini. Saya beli gula, kadang 20 ribu lebih tergantung musim karena impor dari Kediri. Beli ember juga. Ya itu sudah jadi keyakinan saya,” tuturnya.

Hingga kini, lebih dari 10.000 liter eco enzyme sudah ia distribusikan ke masyarakat. Produksi dilakukan secara mandiri, tanpa target jumlah atau keuntungan. “Saya buat saat saya mau aja,” ujarnya ringan.

0 Komentar