Belajar dari Negeri yang Menghormati Petani, Bukan Mengabaikannya

Petani
Syarif Bastaman bersama Ketua DPRD Jawa Barat Dr Buky Wibawa Karya Guna MSi.
0 Komentar

Nilai-nilai seperti kejujuran, kerja keras, kedisiplinan, dan rasa malu ditanamkan melalui kegiatan sehari-hari. Anak yang datang terlambat akan merasa bersalah, bukan karena takut dimarahi, tetapi karena merasa merugikan orang lain.

Budaya kerja Jepang dibentuk oleh prinsip-prinsip mendalam. Mereka percaya pada perbaikan terus menerus, yang dalam bahasa kita bisa disebut sebagai tekad untuk selalu memperbaiki diri. Mereka juga menjunjung tinggi ketulusan dalam bekerja, rasa hormat kepada pekerjaan sekecil apa pun, dan semangat pantang menyerah untuk menyelesaikan tugas. Jika gagal, mereka merasa malu, dan itu menjadi pendorong untuk lebih baik.

Bahkan banyak pejabat atau pimpinan perusahaan di sana yang mengundurkan diri karena gagal menunaikan tanggung jawab, bukan karena diminta.

Baca Juga:Astra Honda Siap Lanjutkan Dominasi di Asia Road Racing Championship Motegi dengan CBR SeriesSinopsis Drakor Our Movie di Disney+: Semakin Besar Cintanya, Semakin Menyakitkan Perpisahannya

Pendidikan Karakter

Semua itu lahir dari pendidikan karakter yang terstruktur dan budaya yang menjadikan kerja sebagai ibadah. Bukan kerja yang sekadar mencari untung, tapi kerja yang bermartabat. Dan semua itu berawal dari sikap hormat kepada orang yang memberi makan: petani.

Pertanyaannya, apakah kita di tanah Sunda khususnya dan Indonesia umumnya masih menempatkan petani pada posisi terhormat? Atau kita hanya mengenang mereka saat butuh kampanye politik dan foto di tengah sawah? Apakah anak-anak kita diajarkan untuk mencintai tanah dan menghormati tangan-tangan yang mencangkul? Atau justru diajari untuk bangga bekerja di gedung tinggi tapi tak kenal jenis-jenis padi?

Padahal, tanah Sunda memiliki potensi pertanian yang luar biasa. Kita punya sawah, kebun teh, kebun sayur, dan warisan budaya tani yang sudah turun-temurun. Tapi hari ini semuanya nyaris hilang ditelan gaya hidup kota yang serba instan. Orang berlomba membangun mal, tapi lupa membangun lumbung. Orang berlomba menjual kopi mahal, tapi melupakan padi dan teh yang sejak dulu memberi kita makan.

Kita bisa belajar dari Jepang, bukan untuk menjadi Jepang, tetapi untuk menemukan kembali jati diri kita sendiri. Sekali lagi! Kita harus mengambil api, bukan abunya.

Kita harus mengambil semangat, bukan simbol. Kita harus membangun kembali budaya yang menempatkan petani sebagai pahlawan kehidupan.

0 Komentar