RADARTASIK.ID – Tanah Sunda (Jawa Barat) dan Jepang memiliki kesamaan mendasar. Keduanya tumbuh dari tanah yang sama suburnya. Keduanya hidup dari pertanian.
Data yang penulis himpun menunjukkan, produksi padi Jabar adalah dua besar dengan proporsi kontribusi 10,4% dari produksi nasional. Kemudian, manggis (28%/tertinggi nasional), susu sapi (sekitar 30-40%), hingga hortikultura (15-20%).
Tapi mengapa yang satu bisa menjadi bangsa modern yang tidak kehilangan akar budayanya, sementara yang lain justru tercerabut dari nilai-nilai yang membesarkannya?
Baca Juga:Astra Honda Siap Lanjutkan Dominasi di Asia Road Racing Championship Motegi dengan CBR SeriesSinopsis Drakor Our Movie di Disney+: Semakin Besar Cintanya, Semakin Menyakitkan Perpisahannya
Jawabannya bukan di teknologi, bukan di dana, tetapi di budaya. Lebih tepatnya, budaya yang menempatkan petani sebagai pusat peradaban.
Saya sering merenung ketika melihat orang Indonesia makan di restoran Jepang. Banyak yang terbiasa mengucap Itadakimasu (selamat makan) dalam bahasa Jepang karena merasa itu keren. Padahal kalau kita mengerti maknanya, ucapan itu jauh lebih dalam dari sekadar basa-basi makan.
Kalimat itu berarti ”saya menerima makanan ini dengan syukur dan penuh rasa hormat kepada petani yang telah bekerja keras agar makanan ini ada di meja saya”. Ucapan sederhana, tapi menggambarkan peradaban.
Di Jepang, petani adalah perwakilan kekuatan alam. Mereka bukan masyarakat pinggiran, tapi penjaga kehidupan. Tanaman pangan dianggap sebagai anugerah Tuhan, air mata kasih sayang-Nya yang menetes ke bumi. Itulah sebabnya profesi petani sangat dihormati. Bukan dikasihani, bukan dilupakan.
Di Sunda, kita dulu juga begitu. Tapi entah sejak kapan pandangan itu berubah. Mungkin sejak lumbung padi diganti dengan supermarket, atau sejak anak-anak malu mengaku anak petani.
Bung Karno pernah berkata, bangsa kita sering hanya mengambil abu, bukan apinya. Kita suka meniru simbol luar, tapi melupakan semangat yang melandasinya. Kita ambil bungkus, bukan isi. Kita ambil gaya makan, tapi tak ambil nilai yang terkandung. Kita ucapkan selamat makan ala Jepang, tapi melupakan petani kita sendiri. Itulah tragedi kita.
Jepang tidak hanya kuat karena ekonomi dan teknologinya. Mereka membentuk karakter bangsanya lewat pendidikan moral. Di sekolah-sekolah Jepang, ada pelajaran khusus tentang budi pekerti yang diajarkan secara formal sejak anak usia dini.